Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 01 Oktober 2008

Refleksi Tentang Para Sahabat Bung Karno

Oleh: Hafis Azhari (Ketua Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia)

Seorang pejuang dan patriot RI yang sudah puluhan tahun meninggalkan Indonesia dan menetap di Swiss, menjelang tahun 1980-an pulang ke negerinya sambil beraudiensi menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha Jakarta. Seketika itu ia terperangah kaget, layaknya melihat orang yang tersembul dari muka bumi hingga melontarkan pertanyaan kepada Soeharto: “Lho? Tuan ini siapa? Datang dari mana?”
Laki-laki pejuang yang sudah lansia itu bernama Alexander Andrias Maramis, yang seangkatan dengan Amir Syarifuddin, Alimin, Setiajid, Wikana dan lain-lain. Tapi mohon maaf, ketika saya berusaha mengadakan inspeksi dengan mengisi beberapa ceramah di forum-forum kampus, rupanya para mahasiswa tak lagi mengenal nama-nama yang saya sebutkan tadi. Sayang sekali. Bahkan para mahasiswa angkatan muda lebih fasih bicara soal Brad Pitt, Britney Spears, Madonna, Julia Roberts, Krisdayanti, Tora Sudiro hingga Susi Susanti, daripada mempersoalkan sejarah hidup Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Kartini, Dewi Sartika dan seterusnya.

Demikianlah hingga nun kala itu, A.A. Maramis duduk terhenyak, seakan-akan bertanya pada diri sendiri: “Ada apa dengan diriku? Apakah aku sudah terasing dari bangsaku sendiri? Lantas apakah aku perlu merasa gusar melihat perkembangan anak-anakku, berikut pola hidup mereka yang menurutku jelek dan tak berarti, namun boleh jadi bagi mereka mengandung hal-hal indah yang menumbuhkan rasa halus dan santun?”
Tapi apakah pemerintahan Soeharto identik dengan jati-diri anak-anak Indonesia? Bukankah dia hidup dengan dunia dan mitos-mitosnya sendiri yang tak ada urusan dengan mentalitas dan karakter anak-anak baru Indonesia…?

Nama-nama besar yang dulu menghiasi koran-koran perjuangan begitu hebat dan dahsyat bagi rakyat Indonesia, menggelorakan emosi, menggemparkan jiwa serta membangkitkan kesadaran pada saat-saat paling menentukan nasib generasi dan anak-cucu bangsa. Namun saat ini yang bicara adalah Miing Bagito, Rano Karno, Deddy Mizwar, Desi Ratnasari, Andrea Hirata, Andy F. Noya, Iwan Fals, Djenar Maesa Ayu, Rosianna Silalahi, Meutia Hafis, Ayu Azhari dan seterusnya.
Karena itu maklumlah bila para sahabat dekat Bung Karno dan para pendahulu kita merasa dirinya sebagai “anak hilang” yang terasing dari rakyatnya, sesuatu yang patut disikapi dengan penuh empati, peka dan peduli, tanpa perlu dipahami dengan rumus-rumus filsafat logika melulu.
Betapa cepat waktu berlalu, dan betapa berharga detil-detil peristiwa dari sejarah hidup anak bangsa yang terasing, hingga dirasakan sakral dan abstrak bagi pandangan anak-anak muda saat ini. Dengan itu saya pun berusaha bersikap rendah-hati ketika seorang Pramoedya Ananta Toer petama kali saya kunjungi di rumahnya (dalam status tahanan kota) bertanya: “Bung Hafis datang dari mana?”
Suatu pertanyaan sama yang pernah dilontarkan kepada Soeharto, meski saya tak mau dipersamakan dengan tokoh yang satu itu, biarpun dia menduduki tampuk kekuasaan tertinggi di negeriku ini.
Di sini kita memahami adanya pergelutan ataupun seni pertumbuhan kepada kedewasaan suatu bangsa, ibarat gugurnya daun-daun yang harus diolah dengan baik hingga menjadi komos, ibarat kaum kencana yang sudah matang dan ikhlas hingga perlu merasa bangga bila harus gugur. Karena toh nilai kegugurannya tidak hanya dihiasi dengan nisan batu granit dan marmer, namun justru menghiasi lumpur-lumpur hitam dalam persemaian di tengah hamparan sawah para petani.
***
Seringkali suatu generasi yang sudah mapan merasa khawatir dan takut, jangan-jangan setiap jasa dan jengkal prestasinya akan dilupakan dan disia-siakan oleh anak-anaknya. Kekhawatiran ini bisa dipahami mengingat anak-anak baru Indonesia sudah memasuki wilayah imajinasi mutatif, induksi mental, dinamika kreatif hingga resonansi intuitif. Generasi baru Indonesia lebih hafal lagu-lagu yang disenandungkan Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Doel Sumbang, Maia Achmad, Rossa, Melly Goeslaw, daripada lagu-lagu perjuangan “Maju Tak Gentar” atau “Di Timur Matahari Mulai Bercahaya”.
Tapi bila dipahami secara mendalam, kekhawatiran itu masih bisa dimaklumi, namun ketakutan tidak perlu ada. Seorang anak mestinya bangga dan hormat pada ayah-ibu yang pernah bergulat memerdekakan keluaga dari perbudakan orang asing maupun pribumi. Setiap anak tentu ingin meneruskan jejak-langkah ayah yang gemilang, meskipun karya-karya itu belum sempurna betul. Dalam batin si anak memancar mata-air kekaguman pada sang ayah yang pahlawan, meskipun ia digugurkan seperti bapak bangsa tercinta Soekarno, yang juga diperlakukan selaku “anak hilang” yang dikubur di pengasingan.
Tentu saja sang anak ketika sudah mencapai dewasa dan akil-balig akan paham sendiri pada jasa-jasa orang tuanya, tanpa menuntut ingin dipuji dan dihormati, kecuali bila ternyata sebaliknya, ia akan berontak dan berani nakal jika imajinasi dan dambaan hatinya rupanya tidak terbukti dalam kenyataan. Ia merana bahkan melawan bila ternyata sang ayah (yang dulu dibanggakannya) bersikap pengecut, membunglon, egois, serakah dan serba melampiaskan hawa nafsunya. Hal inilah yang menjadi persoalan serius dalam perjuangan nasionalisme kita, karena hingga memasuki tahun-tahun menjelang abad ke-21, sebenarnya bangsa ini masih dalam pengaruh dan kemampuan di pemberi warisan (kaum elite) kepada si penerima warisan (generasi muda elite).
***
Berbeda ketika saya berusaha mengunjungi puluhan bapak-ibu tapol di seantero Provinsi Banten. Nampak wajah-wajah polos dan lugu, begitu sederhana, namun menyimpan energi dan semangat yang mendambakan Indonesia merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya. Pada tatapan mereka terasa adanya gap pemisah dengan generasi muda yang memiliki penghayatan dan motivasi baru, tapi saya berusaha memandangnya sebagai kewajaran yang lumrah saja.
Dan saya pun masih ingat ketika sering berkunjung di kediaman Pramoedya, Oey Hay Djoen, Joesoef Isak, Hersri Setiawan dan Y.B. Mangunwijaya. Mereka seakan khawatir melihat anak-anak muda yang tak lagi mempedulikan motivasi pertalian darah dan bumi, bahkan ikatan perumusan naskah dan dokumen penting. Seperti waktu itu ketika Joesoef Isak mengulang-ulang pertanyaan pada saya: “Kalau Bung ini kelahiran Banten, apakah Bung ini benar-benar orang Jawa, ataukah Sunda?”
Tapi Joesoef paham betul, seperti halnya Sjahrir dan Soebadio memahami sejak pagi-pagi sekali, bahwa inti perjuangan dan problem manusia Indonesia harus dipandang melalui teropong lensa medan elektronik, hingga mengatasi bingkai-bingkai “sini Indonesia situ Belanda, sini Sunda sono Jawa”. Meskipun mereka anak-anak manusia pulau, namun dini hari sudah mampu menangkap sendi-sendi moral yang otentik serta pegangan religiositas yang universal. Begitupun Pramoedya yang suatu kali melontarkan pesan-pesan “Tauhid” yang sulit dipahami orang-orang sejamanku: “Bung Hafis, percayalah pada kekuatan diri, jangan hanya mengandalkan doa dan mantra yang membuat manusia Indonesia jadi lemah dan tak berdaya!”
Pernyataan Pram sepintas nampak keras, namun begitulah karakter Pramoedya yang kuat dan tegas. Dan bila dipahami dengan baik dan tidak sepotong-sepotong, sebenarnya ungkapan itu mengandung pesan-pesan religiositas yang agung, bahwa kita harus berani membebaskan diri dari peradaban kampung, harus punya kekuatan untuk menolak tradisi leluhur yang membelenggu, layaknya budaya pengemis atau tipuan maya yang menyesatkan, yang selama ini menumpulkan daya kreasi dan inovasi manusia Indonesia.
Demikian pula Mangunwijaya, yang sepanjang hidupnya mengabdi pada kebenaran, dalam proses pencarian jati-diri manusia Indonesia, bahkan hingga ajal menjemput ia masih tekun menghimpun benang-benang merah kebenaran dan keindoneiaan kita, meskipun akhir hayatnya pun tetap dalam status “pencari kebenaran”.
Dan saya pun terkenang di pagi itu, saat membantu Pram menghimpun kliping-kliping naskah di wilayah Bojong Gede Bogor, kemudian Pramoedya mengajak saya membakar potongan-potongan koran bersama daun-daun kering yang berguguran. Terlihat begitu sederhana, namun siapa mengira bahwa saat ini semakin banyak orang mencari pupuk kompos dari hasil pembakaran daun-daun berguguran yang dapat diolah untuk berbagai rupa manfaat dan kegunaan penting.
Karena itu apapun yang disebut pertikaian ataupun konflik batin, selayaknya dipandang secara dewasa dan penuh rendah-hati (bukan rendah-diri). Tentu saja Joesoef Isak sering menghadapi realitas yang kompleks, seperti halnya Oey Hay Djoen, Hersri Setiawan, Hasjim Rachman, dan terutama para sahabat Bung Karno yang masih menetap di luar negeri seperti Umar Said, Ibrahim Isa, Burhan Azis, Sylvia Tiwon dan seterusnya.
Mungkin saja sesekali merasa merana karena terkucilkan dari proses kekinian manusia Indonesia, dalam pergulatan antara dinamika perkembangan diri serta harta pengetahuannya melalui teropong lensa elektronik, sedangkan para saudara dan orang-orang di sekitarnya masih hidup dalam alam lensa kaca yang dangkal belaka.
Tapi apakah mereka betul-betul merasa terasing dari rakyat yang dicintainya? Apakah selayaknya merasa gundah melihat pemandangan hari ini, sesuatu yang nampaknya sepele dan tanpa arti, namun bagi mereka mengandung hal-hal yang menumbuhkan perasaan santun dan cinta-kasih? Apakah masih teguh merancang agenda dan strategi baru, ataukah sudah waktunya menyatakan letih dan lelah, karena toh pada akhirnya kita semua harus melebur dalam sekenario dan rencana besar Yang Maha Kuasa, Maha Cinta dan Maha Memliki.
Lantas apa yang dapat kita sumbangkan untuk mengurangi rasa derita antara sang anak dan orang tua dalam setiap konflik masa pancaroba? Tidaklah sepantasnya kita membiarkan penderitaan semakin menyengat, meskipun kita semua tahu bahwa kadar karat emas justru bernilai tinggi dalam penghayatan iklim kesengsaraan….

Banten, 23 September 2008

0 komentar: