Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Sabtu, 08 Maret 2014

MENGENDALIKAN AMARAH

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - MENGENDALIKAN AMARAHDulu, aku orang yang bersifat pemarah. Aku tidak bisa meredam amarahku setiap hari. Ayahku menyadari hal ini. Untuk mengurangi rasa amarahku, Ayahku memberikan sekantong paku dan mengatakan kepadaku agar aku memakukan paku itu ke pagar di belakang rumah tiap kali aku marah. Hari pertama aku bisa memakukan 48 paku ke pagar belakang rumah. Namun secara bertahap jumlah itu berkurang. Aku menyadari bahwa lebih mudah menahan amarah ketimbang memaku paku ke pagar. Akihrnya aku bisa menahan dan mengendalikan amarah ku yang selama ini telah memburuku. Aku memberitakukan hal ini kepada Ayahku. Ayahku mengatakan agar aku mencabut satu paku di pagar setiap hari dimana aku tidak marah. Hari-hari berlalu dan tidak terasa paku-paku yang tertancap tadi telah aku cabut dan lepaskan semua. Aku memberitahukan hal ini kepada Ayahku bahwa semua paku telah aku cabut. Ayah tersenyum memandangku, dan ia menuntunku ke pagar. Dan berkata “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi, lihatlah lubang....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 Read More......

Kamis, 03 September 2009

IN MEMORIAM JOSOEF ISHAK: Dia itu Sukarnois Dalam Ucapan dan Tindakan

Kolom IBRAHIM ISA
Kamis, 20 Agustus 2009
——————————-
IN MEMORIAM JOSOEF ISHAK:
Dia itu Sukarnois Dalam Ucapan dan Tindakan
(2)
Tulisan untuk ´MENGENANGKAN SAHABATKU TERCINTA, JOESOEF ISAK, Bg 2, dimulai dengan sedikit cerita bagaimana pengenalanku terhadap Ucup – sapaan akrab. Ternyata beliau ini adalah seorang Sukarnois. Sulit dicari samanya. Tadinya banyak orang, termasuk penulis ini, mengira Joesoef adalah seorang PSI. Rosihan Anwar yang ´dekat sekali´ dengan PSI, meskipun tidak terang-terangan mau menyatakannya, juga punya pendapat seperti itu.
Nyatanya Joesoef Isak bukanlah orang PSI. Meskipun habitatnya – meminjam istilah Rosihan – adalah PSI.. Joesoef Isak sendiri dalam wawancaranya dengan wartawan Belanda, de Volkskrant, untuk Jakarta, Michel Maas,menyatakan, bahwa orang umumnya menyangka Joesoef Isak itu orang PSI. Orang tambah terkejut karena Joesoef mengatakan kepada Michel Maas bahwa orang-orang PSI itu adalah ´salon-sosialis´. Tetapi Joesoef Isak juga menyatakan bahwa dia bukan anggota PKI. Tidak mudah jadi anggota PKI, kata Joesoef.
Joesoef Isak memang benar adalah seorang Sukarnois tulen! Antara lain bisa dibaca dalam perdebatannya di s.k. De Volkskrant, dengan Rudy Kausebroek, wartawan kawakan Belanda. Mereka berkonfrontasi dalam perdebatan mengenai pelbagai topik. Tetapi yang paling seru adalah mengenai Bung Karno, bagaimana sikap Bung Karno ketika periode pendudukan Jepang, dan mengenai Demokrasi Terpimpin konsep Bung Karno. Rudy Kousebroek yang melancarkan serangan. Joesoef yang membela Bung Karno dan konsepnya..
Memang dimana saja Joesoef menulis berkaitan dengan Bung Karno, maka Joesoef akan tampil dengan argumentasinya yang keras dan beralasan membela Bung Karno, sejarahnya, visinya dan misinya. Dari tulisan-tulisan Joesoef mengenai Bung Karno dan konsepsinya, orang akan tiba pada kesimpulan, bahwa Joesoef Isak benar-benar memahami, menguasai dan membela ide-ide dan ajaran Bung Karno.
* * *
Aku selamanya menganggap cukup mengenal Bung Karno sebagai konseptor, inspirator dan aktivis ulung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ternyata pengenalan dan pemahamanku itu, tidak semendalam apa yang difahami dan dihayati oleh Joesoef Isak. Harus kuakui, bahwa sesudah lebih dekat dengan Joesoef Isak, pemahaman dan pengenalanku terhadap ajaran-ajaran Bung Karno bertambah. Baik dalam keluasannya maupun kedalamannya.
Joesoef Isak, bukan dalam omongannya saja seorang SUKARNOIS.Tetapi terutama dalam tindakan dan tulisan-tulisannya. Justru pandangan Sukarnois ini yang membikin Joesoef Isak, bisa berdialog dengan siapa saja, yang beda pandangan dengan dia. Joesoef juga memahami langgam Bung Karno berkomunikasi dengan orang lain yang punya pandangan lain.
Kalau dikemukakan di sini, bahwa tak ada kujumpai orang lain yang begitu gairah dan yakin mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, yang begitu mengkhayati aj
Aku kenal sejak dulu, seorang tokoh dan pemimpin politik, salah seorang intelektual dan budayawan Indonesia. Dia itu Komunis, — Nyoto, namanya. Beliaulah yang beberapa kali menjadi ´gostwriter´nya Presiden Sukarno. Yang menyiapkan pidato-pidato Presiden untuk peringatan hari 17 Agustus. Ada juga lainnya yang mengajukan konsep pidato 17 Agustus kepada Presiden Sukanro. Tetapi Sukarno memilih konsep yang dibuat Nyoto. Sehingga, dari satu jurusan tertentu, ada yang mengkomentari bahwa Nyoto itu, lebih Sukarnois dari Sukarno sendiri. Yang tambah menarik ialah bahwa ´Sukarnois´ Nyoto itu, — juga dekat dengan Sukarnois Joesoef Isak. Tidak kebetulan bahwa ketika Nyoto dikejar-kejar aparat sesudah G30S, dengan tuduhan terlibat – tanpa bukti dan tanpa diadili – tempat Nyoto bermalam adalah di rumah Joesoef Isak. Suatu risisko besar sekali bagi Joesoef Isak menjadikan rumahnya tempat Nyoto menyelamatkan diri. Aku fikir, yang membuat mereka dekat satu sama lainnya, ialah kesamaan pandangan Joesoef dan Nyoto mengenai Bung Karno dan ajaran-ajarannya. Makanya bisa dimengerti mengapa Tempo yang mempersiapkan penerbitan mengenai Nyoto, mengundang Joesoef Isak pada tanggal 14 Agustus malam yang lalu, berdiskusi bersama lainnya yang dianggap sedikit banyak kenal siapa Nyoto.
* * *
Sesuai dengan ajaran Bung Karno, Joesoef selalu menekankan, mutlak perlunya dibangun pesatuan bangsa Indonesia. Bukan sebarang persatuan, tetapi suatu PERSATUAN YANG PROGRESIF REVOLUSIONER. Inilah satu-satunya jalan menyelamatkan bangsa dan Republik Indonesia. Jalan menuju keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu ketika Subadio Sastrosatomo, embahnya PSI, sesudah meninggalnya Sutan Sjahrir, menyatakan perlunya para pendukung Bung Karno, pendukung Bung Syahrir dan pendukung Bung Hatta bersatu demi menyelamatkan tanah air dan bangsa, pernyataan ini segera disambut oleh Joesoef Isak. Ia aktif pula mensosialisasikan ide tsb.
Dimana saja Joesoef Isak sempat bicara dengan kaum muda, ia selalu mengajukan ide tentang perlunya belajar dari sejarah bangsa. Joesoef setiap kali mengulang-ulang kata-kata Bung Karno — SEKALI-KALI JANGAN MELUPAKAN SEJARAH BANGSA.
* * *
Ketika mengajukan ide-idenya berkenaan dengan SERATUS TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL, Joesoef mengajukan kepadaku a.l. Sbb.
´Apakah moral dan message paling inti dan paling hakekat dari peristiwa Kebangkitan Nasionlal 100 tahuh yang lalu itu???
This is it : PERSATUAN NASIONAL ! ! Karena Persatuan Nasional kita merdeka, karena Persatuan Nasional kita Kuat dan Mandiri, karena Persatuan Nasional amburadul negeri terimbas amburadul, akibatnya negeri serba tergantung, rakyat sengsara, cuma segelintir elit yang tetap senang.
Kata Joesoef — Setelah menjalani100 Tahun, sudah waktunya bikin satu moment-opname tentang situasi dan kondisi Indonesia hari ini. Dengan berat dan sedih inilah kesimpulannya : Indonesia dengan bumi kaya-raya melimpah-ruah, memiliki rakyat yang sangat miskin di dunia; dan rakyat yang miskin ini memiliki paling banyak elit yang milyuner dollar. Opo ora sedih setelah 100 tahun bangkit dan 60 tahun lebih merdeka?
Seperti diamanatkan Bung Karno, sejarah jangan sekali-kali dilupakan. Sejarah harus dikuasai dan dipelajari betul bukan hanya untuk bernostalgi pada prestasi masa lalu, akan tetapi terpenting justru untuk menarik pelajaran guna dengan lebih baik lagi menangani dan memasuki masa-depan.
Sejarah memiliki kandungan moral, bagaimana secara benar dan tepat memaknainya???
Sejarah menuntut dari kita semua, kesediaan dan kemampuan untuk self-koreksi, mawas-diri. Meaning? Semua pihak, semua institusi birokrasi, orpol, ormas, perorangan, tanpa kecuali, mau dan berani membedah dan membenahi diri untuk tidak mengulangi, untuk mencegah semua bentuk kebodohan dan kesalahan yang mubasir di masa lalu ! ! ! Kemubasiran yang telah dan
masih terus harus dibayar dengan peringkat kemajuan negeri yang terpuruk dan rakyat yang berkelanjutan hidup miskin sampai hari ini.
Apa kandungan amanat yang built-in dalam manifestasi Kebangkitan Nasional. Ini : menegakkan kemerdekaan, kesejahteraan adil-makmur dan kemandirian dengan agenda permanen berlawan terhadap kekuatan yang menghambat dan mau mentiadakan kemerdekaan dan kemandirian tersebut – di mana, kapan dan oleh siapa pun. Tragis sekali kalau ada segmen masyarakat — karena ketidak-matangan dan ignorance politik, malah membantu dan berjalan seiring-sejalan dengan kekuatan yang agendanya justru menggerogoti kemerdekaan, kemandirian dan
What to do, how and where to begin now?
Kita sudah cukupan menikmati demokrasi, tetapi defisit sekali nasionalisme. Demokrasi mutlak diperlukan, tetapi hanya demokrasi yang berisi nasionalisme modern yang cinta tanah-air, cinta rakyat — dengan sendirinya watak nasionalisme yang selalu mementingkan rakyat di atas segala-galanyanya, jijik pada korupsi, konsiten menolak ketergantungan dalam segala bentuk. Untuk itu perlu dimulai dengan membenahi kerangka-berpikir (mind-set) rancu yang digendong-gendong selama ini.
Diperlukan mind-set revolusioner yang membangun nasionalisme modern, membangun kebiasaan (habit) cinta rakyat, habit memelihara persatuan yang positif, benar dan produktif bagi rakyat dan negeri, bukan persatuan asal persatuan sekalipun dengan unsur-unsur negatif yang justru
meredusir kemerdekaan dan kemandirian.
Demikian Joesoef Isak dalam salah satu pesannya kepadaku untuk MEMPERINGATI SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL
* * *
Siapa menduga bahwa hal-hal yang dikemukakan diatas — adalah ide yang muncul dari Joesoef Isak?
Cobalah analisis teliti, semua yang dikatakan Joesoef Isak itu, – – – konsepsionil, seratus persen adalah SUKARNOISME yang ditrapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dewasa ini!
*) Ibrahim Isa adalah publisis. Sekretaris The Wertheim Foundation, Amsterdam


Read More......

Sebuah Obituari


Max Lane

HARI Senin kemarin adalah Hari Kemerdekaan, peringatan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta dan dimulainya empat tahun perjuangan jutaan rakyat Indonesia untuk menjaga agar tentara kolonial Belanda tidak lagi memasuki tanah yang telah mereka obrak-abrik selama 350 tahun. “Merdeka atau mati!” adalah sorak sorai yang membahana di hari itu. Dan kematian banyak orang memang terjadi, terbunuh oleh peluru yang dibuncahkan tentara Belanda.

“Lebih baik di neraka daripada hidup di bawah penjajahan kembali!” adalah slogan yang tertulis di berbagai bus dan angkutan di Batavia.

Merdeka. Berarti kebebasan, adalah kemenangan tertinggi bagi rakyat Indonesia: kebebasan dari aturan kolonial. Tetapi ini bukanlah akhir dari perjuangan kebebasan dalam artinya yang paling utuh.

Dua hari sebelum Hari Kemerdekaan kemarin, satu dari pejuang kebebasan yang paling signifikan, Joesoef Isak, meninggal dunia di rumahnya pada usianya yang ke 81. Beliau amat dikenal sebagai sosok, yang bersama almarhum Hasyim Rachman, melawan Soeharto sang diktator dan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang telah dilarang publikasinya di bawah komando pemerintahan Orde Baru. Dia barangkali adalah satu-satunya orang yang dibebaskan di tahun 1978, setelah 10 tahun dipenjarakan tanpa diadili, dan kemudian kembali berada di balik jeruji besi karena pembangkangannya terhadap Soeharto atas pembelaannya terhadap Pramoedya dan karya-karyanya. Ia berkali-kali menerbitkan, lalu dipanggil dan diinterogasi, dan kemudian kembali menerbitkan karya-karya yang dilarang tersebut.

Bisa jadi, tanpa keberanian dan kegigihan Joesoef dan Hasyim, buku Tetralogi Buru Pramoedya yang dimulai dengan Bumi Manusia, tak akan diterbitkan setelah kejatuhan Soeharto. Bayangkan saja itu. Buku-buku itu adalah novel terbesar Indonesia, dan, meskipun sekarang masih dilarang, karya-karya itu adalah novel-novel Indonesia yang serius yang paling banyak terjual. Jika Joesoef dan Hasyim dan Pramoedya tidak melawan Soeharto dan buku-buku itu tidak keluar dan menciptakan kegemparan saat itu, barangkali mustahil kita melihat terbitan dalam versi bahasa Inggris. Atau barangkali hanya diterbitkan dalam versi sangat mahal terbitan beberapa universitas, dengan ribuan catatan kaki yang tak bisa diakses oleh pembaca umum. Yang terjadi, Bumi Manusia dicetak oleh Penguin dalam versi paperback dan telah menginjak cetak ulangnya yang ke 23.

Setelah Soeharto turun tahta, Joesoef meneruskan usaha penerbitan Hasta Mitra, mengeluarkan buku-buku sejarah dan politik Indonesia yang dianggap tabu dan mencoba mengembalikan sejarah orang-orang ke dalam negara. Hasta Mitra, atas usaha Joesoef dan asisten satu-satunya, Bowo, menerbitkan lebih dari 80 judul: memoar, sejarah, koleksi lengkap dokumen internal CIA berkaitan dengan gerakan 30 September 65, dan versi Indonesia pertama atas Kapital-nya Karl Marx. Dia menulis banyak esai dan komentar yang dipublikasikan dalam buku-buku. Joesoef mendapatkan penghargaan atas keberaniannya dalam melakukan publikasi dari PEN USA, dan PEN Australia, juga memenangkan penghargaan bergengsi Belanda, Wertheim Award. Masih belum cukup, ia lalu dianugerahi Legion of Honor dari Prancis.

Melalui kerja yang ia lakukan tersebut, ia berdiri untuk sesuatu yang masih tergolong tak gampang ditemui: Dia seseorang yang blak-blakan dan tegas dalam mendukung demokrasi dan kemerdekaan yang sejati. Dia sering menulis dan sering mengatakan bahwa Indonesia tak akan pernah berjalan ke depan, saat pikiran para rakyat dan intelektualnya masih terperangkap dalam dunia yang palsu, dimana ketabuan ideologi mengunci mereka ke dalam kesalahpahaman dan kemudian membuat mereka menjadi anti demokrasi.

“Jika anda mau menyerang sosialisme dan komunisme, lakukanlah. Jika anda ingin berargumentasi melawan ide-ide ini, atau menghina atau berkampanye menentang itu semua, anda punya hak untuk melakukannya. Tapi bagaimana kebebasan dan pemikiran akan maju kalau masyarakatnya saja sudah berpikir enggak apa-apa membunuh orang hanya karena dia seorang komunis dan kiri, atau memenjarakan atau melarang mereka, atau memukul dan menyiksa mereka?” Joesoef sering melontarkan pandangan ini pada saya, bukan karena dia sendiri seorang kiri, namun karena ia seorang demokrat. Tentu saja dia tahu bagaimana rasanya represi yang mengungkung. Ia sendiri kehilangan kebebasannya selama 10 tahun di penjara, dimulai dari tahun 1968. Tanpa proses pengadilan. Sebagian dari kawan-kawan baiknya dibunuh pada tahun 1965.

Namun, menurut saya, pandangannya itu benar. Negara hanya dengan satu kondisi: bebas atau tidak. Ini akan menjadi sebuah ujian di masa depan untuk melihat siapa, dan berapa banyak orang, akan berbicara lantang untuk kebebasan. Selama lebih dari satu dekade dimana Pramoedya dan 15 ribu lainnya dipenjarakan, secara virtual tak ada satupun dari “kawan-kawan” intelektual atau aktivis politik yang menyerukan kebebasan mereka dari penjara. Tak ada yang berteriak atas terbunuhnya 500 ribu orang secara ilegal. Ide-ide kiri secara resmi masih dilarang. Sepanjang yang saya ketahui, pelarangan tulisan-tulisan Pramoedya belum secara resmi dihapuskan. Bahkan tulisan-tulisan Sukarno pun bernasib sama. Adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin untuk menemukan pidato-pidatonya yang terakhir dalam sebuah buku kontemporer.

“Merdeka!” Pak Joesoef.***

Max Lane adalah penulis buku, “Indonesia, Bangsa yang Belum Selesai,” Reform Institut, 2007

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian thejakartaglobe, 17 Agustus 2009, dengan judul asli: Joesoef Was Right. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sari SaFitri Mohan.


Read More......

Minggu, 21 Desember 2008

Benar, Salah dan Keliru

Oleh: Hafis Azhari
(disunting dari buku 100 Tahun Bung Karno, Penerbit: Hasta Mitra)


Suara azan bergema: "Allahu Akbar!"
Namun kerumunan itu masih saja melempar rumah sambil berteriak,
"Allahu Akbar!"
Dua orang berseragam terus memberi komando.
Aku sendiri bingung harus berbuat apa, bicara apa,
Cuma dua kata yang kemudian keluar dari mulutku:
"Allahu Akbar..."
Rumah itu lantas dibakar habis hingga api berkobar-kobar
Suaranya bermeratak bersatu-padu
Dengan sayup-sayup suara azan di kejauhan sana
Juga teriakan 'Allahu Akbar' bersatu-padu
dengan panggilan untuk mengingat Tuhan Sang Pengasih,
Tak lama kemudian, sesosok tubuh berpakaian kumal tercabik-cabik serta
kulit-kulit terkelupas.
Muncul dari rumah yang sudah hangus berantakan,
Pada kerumunan itu ia mentap tajam penuh makna
Ia tak berkata-kata hingga jatuh tergeletak
Hanya "Allahu Akbar" itu saja yang aku dengar sebelum ajalnya,
Tetapi masih saja aku bingung harus berbuat apa
Dan siapa pula yang bisa memastikan:
"Allahu Akbar" mana yang benar
"Allahu Akbar" mana yang salah
dan "Allahu Akbar" mana yang keliru? Read More......

Minggu, 14 Desember 2008

Menyatukan Indigo bagi Indonesia

“Menurut sejarah, kabarnya Pancasila disusun oleh seorang anak Indigo yaitu Mpu Prapanca yang menulis Nagarakartagama.” Itulah yang dipercaya KH Amiruddin Syah dari Institut Kajian Tasawuf Az Zukhruf, Jakarta.

Dalam magnum opus abad 14 karya pendeta sekaligus jurnalis Kerajaan Majapahit itu tertulis Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian disempurnakan oleh Mpu Tantular.

Bhinneka Tunggal Ika kemudian dipahami sebagai budaya yang berbeda-beda namun tujuannya adalah satu dan agama yang berbeda juga bertujuan satu yakni Allah dan Kehidupan yang baik.

Namun generasi atau anak Indigo? Apaan sih?


Generasi Indigo, menurut Ketua Umum Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) Rossini Larasati, diyakini sebagai orang yang memiliki kemampuan kecerdasan spritual sejak lahir yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Kemampuan orang atau anak Indigo, menurut Rossini, tidak hanya terletak pada rata-rata IQ-nya, tetapi juga karena generasi ini memiliki indera keenam, yang menjadikan kelompok ini istimewa.

Kenapa istimewa karena menurut Amiruddin Syah, ciri tambahan dari anak indigo adalah memiliki energi yang berlebih dan sensor spektrum penglihatan di atas rata-rata anak normal.

Indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh.

Posisi cakra indigo ada di kening atau di tengah cakra leher berwarna biru dan cakra puncak kepala yang berwarna ungu. Cakra biru adalah spektrum bagi penalaran atau berpikir. Sementara nila yang memiliki panjang gelombang di atas biru merupakan cakra spiritual.

Karena memiliki cakra indigo, bisa dipastikan anak-anak indigo adalah sosok yang cerdas, kreatif dan umumnya memiliki kemampuan spiritual tinggi sehingga mereka kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu.

Beberapa mampu melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa yang biasa disebut kemampuan extra-sensory perception (ESP) alias indra keenam.

Maksudnya? Hollywood menceritakan kisah anak indigo dalam The Sixth Sense ada juga yang berbau superhero seperti Hellboy. Sementara di layar kaca, Anda tentu akrab dengan serial The X-Files dengan pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny.

Ketempelan jin

Bagaimana Indonesia? Jelas banyak. Sayang kisah luar biasa indigo justru cenderung dibumbui pandangan klenik. Akibatnya banyak orangtua di Indonesia yang malah salah duga dan salah mendidik.

Orang tua di Indonesia justru ketakutan dan membawa anak indigo mereka kepada paranormal untuk dijampi-jampi. Maklum anak indigo kerap berperilaku abnormal.

Misalnya bertepuk tangan sendirian atau ngobrol sendiri sembari “mojok” dalam ruangan. Suatu tindakan yang cenderung membuat orangtua berpikir anaknya ketempelan jin.

Pada sisi lain ada pula indigo yang menampilkan kecerdasan spiritualitas mereka melalui ucapan atau tindakan cerdas dan bijaksana pada usia yang relatif muda yang setara atau bahkan melebih orang dewasa seperti kemampuan banyak bahasa.

“Karena tidak terpahami, komunitas indigo mendapat tentangan dari masyarakat yang tidak memahami indigo,” ujar Rossini yang juga menjadi konsultan dari generasi indigo.

Sedangkan Amiruddin Syah yang memimpin Institut Tasawuf lebih memberikan pendekatan tasawuf terkait dengan spiritualitas adalah mencari Allah dengan peralatan atau sarana yang telah Allah berikan kepada manusia.

Institut Tasawuf selain mengarahkan anak indigo juga mendidik orangtua yang memiliki anak indigo agar kemampuan anak indigo tak luntur.

Melihat potensi yang besar ini Rossini Larasati bersama beberapa orang tua yang peduli pada anak-anak indigo membentuk Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) akhir pekan lalu dengan mengambil gelaran puncak Sarasehan Kebudayaan Indigo untuk Indonesia.

Tujuannya agar individu pemilik kecerdasan spritual super tersebut bisa memberikan manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia.

“Jika kemampuan komunitas indigo ini dapat diakomodir dan dikembangkan dengan baik tentu akan memberi manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia,” ujarnya.

Maklum karena ketidaktahuan atau pemahaman indigo, masyarakat ataupun orangtua dari anak indigo sering memandang anak indigo sebagai anak yang membutuhkan pendampingan khusus.

Pemahaman bisa terjadi atau berkembang jika komunitas indigo yang terbentuk bisa membantu generasi indigo untuk tumbuh berkembang sesuai dengan pola-pola pendidikan yang seharusnya diterima.

Dengan adanya lembaga KPSII, spiritualitas bangsa Indonesia bisa terbangun dengan peran serta dari kelompok indigo yang memang sejak lahir memiliki kepekaan spiritualitas yang tinggi.

Uniknya karena sejak awal mengurus hal-hal kemampuan kasat mata dan tak terukur secara kualitatif sejak awal KPSII cenderung bergerak sebagai kelompok diskusi, konseling atau pendampingan bagi indigo muda dan orangtua yang anaknya terlahir sebagai indigo dan sekaligus penyebaran informasi dan konsultasi.

Namun andai pemerintah tanggap, seharusnya ada perhatian lebih pada generasi indigo karena memiliki kemampuan menjadi agen perubahan sosial.

Pasalnya menurut ramalan, komunitas ini akan memadati Jawa dan diperkirakan untuk dua tahun ke depan bakal terkumpul 5797 powerful indigo. Artinya dua tahun lagi akan ada perubahan penting yang menggegerkan Indonesia.
Read More......

Sabtu, 13 Desember 2008

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari
Oleh Laura Irawaty
(Sekjen Gema Nusa Propinsi Banten)

Beberapa waktu lalu saya bersama Astuti dari Majalah Tiras (lokal) berhasil mewawancarai Hafis Azhari di kediamannya di Kampung Jerang Hilir pedalaman Kota Cilegon, khususnya mengenai penerbitan novel "Petunjuk dari Lubang Buaya (PDLB)" di media intenet. Berikut ini hasil wawancara kami, setelah mengedit beberapa bagian yang tak mungkin dimuat sepenuhnya, tapi kami berupaya untuk tidak mengurangi hal-hal substantif yang harus diungkap di sini. Selamat membaca.


Laura    : Sebetulnya bagaimana asal-muasalnya hingga novel Bung bisa beredar luas dan dibaca banyak orang di internet itu? Apakah betul bahwa hal itu di luar pengetahuan Bung Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, siapa bilang? Saya tahu kok. Waktu Bung Thorik (Muhammad Thorik, ed) bolak-balik ke rumah saya setelah membaca naskah itu, lantas menawarkan untuk membuatkan blog khusus hingga novel itu terpublikasi, semuanya dengan seizin saya, meski ada bagian-bagian yang belum termuat, dan masih berproses hingga saat ini.
Laura    : Jadi Bung sendiri yang menahan sebagian naskah itu hingga belum sepenuhnya termuat?
Hafis    : Iya betul.
Astuti    : Bagaimana ceritanya hingga Pak Hafis menulis novel PDLB itu? Apakah betul rumor yang beredar selama ini bahwa naskah itu adalah sejarah hidup Pak Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, tidak juga, meski ada bagian-bagian penting yang saya ambil dari pengalaman hidup saya. Tapi seumumnya adalah bagian dari pengalaman hidup bangsa ini, termasuk pengalaman kalian juga, hehe.
Laura    : Bagian mana yang bukan pengalaman hidup Bung?
Hafis    : Saya kan kuliah di UIN Jakarta pada jurusan Teologi dan Filsafat, tapi pada novel itu saya bikin seakan-akan saya gagal masuk Sekolah Tinggai Filsafat Driyarkara. Juga tentang penyerbuan-penyerbu an kantor itu. Saya hanya menghimpun dari kesaksian orang-orang yang terlibat, khususnya para korban, termasuk informasi dari koran-koran yang beredar saat itu. Tapi intinya saya tidak hendak mengungkap kebenaran secara mutlak, tapi saya ingin menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang merupakan substansi dari ilmu sejarah itu sendiri.
Astuti    : Tapi yang disampaikan dalam novel PDLB banyak yang sesuai dengan fakta di lapangan, misalnya kasus Trisakti, penyerbuan kantor PDI-P, kasus LBH Bandung, Romo Sandyawan, Pius Lustrilanang, Wiji Thukul, bahkan kasus-kasus Kedungombo hingga pembunuhan Munir. Apakah Bung sempat mengadakan kros-cek yang intensif dengan tokoh-tokoh yang terlibat di lapangan?
Hafis    : Silakan saja di-kroscek oleh pihak-pihak akademisi atau pihak-pihak yang berkompeten, hingga terjadi harmoni dan kesenyawaan yang menyeluruh, meskipun suatu novel tetap pekerjaan tangan dan pikiran yang tidak (belum) sempurna betul. Semua kita adalah bagian dari proses sekaligus terlibat dalam proses. Dan sejerah itu sendiri adalah kebenaran yang terus berproses, mungkin hingga kiamat.
Laura    : Maksud Bung?
Hafis    : Ya sejarah yang dituliskan itu kan hasil kreasi atau konstruksi memori dan pikiran manusia. Orang yang menggarap dengan kekuatan rasio ilmiah pun, tetap masih mungkin adanya kekurangan dan kekeliruan. Kita manusia hanya bisa berusaha sekuat mungkin.
Astuti    : Kalau konstruksi buatan manusia seperti maksud Bapak, berarti suatu tulisan itu boleh jadi hasil rekaan atau kebohongan?
Hafis    : Bukankah karya sastra itu identik dengan hasil karangan, termasuk karya-karya Pram atau para peraih nobel sekalipun. Sekuat apapun didasari sejarah, masih tetap tergantung dari motivasi pengarangnya. Tapi intinya, kalaupun manusia terpaksa membuat kebohongan, masalahnya kebohongan itu diciptakan untuk menyelamatkan dan mendamaikan manusia, atau justru untuk merusak, membunuh dan memfitnah manusia? Menurut saya, dalam iklim negara yang tidak adil, kesantunan atau kejujuran mutlak itu tidak selamanya baik.
Astuti    : Kabarnya Pak Hafis juga pernah mempublikasikan sejarah hidup korban-korban 65 di internet? Apakah Bapak tidak mempertimbangkan sisi komersilnya?
Hafis    : Saya pernah dibantu oleh sebuah lembaga kebudayaan di Jakarta untuk mengadakan penelitian di Banten, tentang korban-korban Orde Baru. Meskipun riset-riset tentang para korban Orde Baru telah saya lakukan sejak tahun 1995-an. Untuk program itu saya pernah dipertemukan dengan Hersri Setiawan, Goenawan Mohamad, Hermawan Sulistyo, Asvi Marwan Adam, bahkan dengan anak-anak jenderal korban 1965 lalu. Mereka menamakan program itu dengan "Historical Memories di Indonesia".
Laura    : Bagaimana dengan Joesoef Isak yang biografinya Bung publikasikan juga?
Hafis    : Oh, biografi Joesoef Isak itu kan masih draft. Kalau itu, tak ada hubungannya dengan penelitian saya di Banten. Joesoef Isak tinggal di wilayah Duren Tiga Jakarta. Adapun penulisan biografi itu murni atas inisiatif saya dan teman-teman K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia, ed).
Astuti    : Banyak pembaca yang mengungkap adanya kekuatan pikiran, atau kekuatan bahasa dari Pak Hafis dalam penulisan biografi Joesoef itu, seakan-akan naskah itu sudah matang betul. Apakah sebelumnya ada lembaga khusus yang membiayai program itu?
Hafis    : Wah, sampai saat ini belum ada sama sekali. Sampai sekarang naskah itu belum selesai kan? Padahal sudah dibaca ribuan orang. Suatu hari saya pernah dipertemukan dengan seseorang yang datang dari Belanda, yakni seorang mahasiswa yang kuliah di luar negeri sejak tahun-tahun 1960-an, kemudian di bawah rejim Soeharto ia tak bisa pulang ke Indonesia. Beliau membantu sekedarnya atasnama pribadi, bukan lembaga, dan kami mengucap banyak terimakasih. Tapi mengenai naskah biografi itu, di kemudian hari kami sadar betul bahwa program itu adalah program besar yang membutuhkan waktu, energi dan biaya tinggi...
Laura    : Apakah Bung pernah menghubungi lembaga penyandang dana melalui internet?
Hafis    : Dulu pernah ada yang membuatkan pengumuman melalui internet. Tapi saya sendiri jarang buka internet, bahkan nomor password saya sering dipakai teman-teman pengurus K2PSI. Saya cuma mendatangi warnet (warung internet, ed) kalau ada tulisan yang perlu disampaikan ke publik. Di kampung ini belum ada jaringan internet, jadi saya harus pergi ke pusat Kota Cilegon. Kalau perlu diadakan jaringan khusus, mungkin biayanya tinggi, dan kami tak sanggup membayar. Karena itu mohon maaf kalau saya tak pernah komunikasi lewat internet. Tapi kalau nomor handphone, selalu hidup dan tak pernah saya matikan.
Astuti    : Kira-kira pesan apa yang ingin Bapak sampaikan melalui biografi Joesoef Isak itu?
Hafis    : Pada prinsipnya tak jauh beda dengan novel PDLB, juga dengan tulisan-tulisan saya yang lainnya. Saya ingin membedah otak-otak manusia Indonesia agar berpikir, berpandangan, bertutur-kata, bahkan bersikap sebagaimana adanya manusia Indonesia. Karena Orde Baru telah menculik indentitas dan jati-diri kita selama ini, hingga kebanyakan kita tumbuh secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dan saya sudah menyiapkan beberapa novel lagi tentang peristiwa 1965 itu. Saat ini dua novel saya sudah ada di tangan sebuah penerbit di Jakarta.
Astuti    : Bagaimana kalau ada penerbit di Banten ini yang meminta tulisan-tulisan Bapak? Dan bagaimana Bapak sendiri memandang tentang dunia penerbitan akhir-akhir ini?
Hafis    : Dunia penerbitan baik-baik saja, meskipun kita perlu punya pengertian tersendiri tentang industri penerbitan. Di Jaman Orde Baru, dunia penerbitan itu termasuk bisnis kapitalisme yang bergerak secara sepihak. Jadi bagian dari konstruksi buatan orang-orang yang mendukung rejim militer juga, bahkan masih diwariskan hingga hari ini. Siapa berhak menerbitkan dan diterbitkan, dan apa motoivasi si penulis hingga mengajukan sesuatu untuk diterbitkan?
Laura    : Lantas, siapa yang berani menerbitkan novel PDLB, atau karya-karya Bung yang lainnya?
Hafis    : Pada waktunya akan tampil juga ke permukaan. Segala sesuatu ada musimnya tersendiri. Tapi oke, sekarang saya ingin sampaikan ke publik bahwa naskah biografi Joesoef Isak yang pernah saya beri judul "Wartawan Pembela Bung Karno" pernah ditolak beberapa waktu lalu oleh Penerbit Gramedia (P.T. Gramedia Pustaka Utama, ed) yang ditandatangani oleh seorang manager bernama Siti Gretiani. Dan surat penolakannya masih ada di tangan saya sekarang.
Astuti    : Juga naskah PDLB?
Hafis    : Kalau PDLB selengkapnya sudah ada di tangan penerbit di Jakarta. Beberapa tahun lalu draft naskah PDLB pernah dibaca oleh Pramoedya (sebelum wafat), sampai-sampai ia mempertemukan saya dengan penerbit di Utan Kayu. Tapi sekarang naskah lengkapnya sudah ada yang pegang.
Laura    : Kabarnya teman-teman Joesoef Isak yang di luar negeri ikut menghadiri acara "Liber Amicorum Joesoef Isak" di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Apakah Bung juga menyumbangkan tulisan seperti yang pernah Bung sumbangkan untuk Liber Amicorum Bung Karno dulu?
Hafis    : Saya diminta menyumbang tulisan oleh Bung Bonnie Triyana selaku penyelenggara. Dalam beberapa hari langsung saya kirimkan tulisan itu. Saya senang sekali mendapat kepercayaan untuk menyumbang tulisan tentang Joesoef Isak itu.
Astuti    : Saat ini program apa yang sedang Bapak jalankan bersama K2PSI?
Hafis    : Saat ini kadang-kadang kami harus menyelesaikan satu sampai tiga program kegiatan. Namun diperlukan adanya prioritas terpenting untuk diselesaikan. Karena sering terbentur soal dana, bila ada kegiatan ABC terpaksa kami dahulukan program yang ada dananya, biarpun di posisi C atau B. Inilah yang menjadi kendala kami, sering terbentur soal skala prioritas. Padahal di jaman kebangkitan Indonesia sejak 1908, 1928 hingga 1945, persoalan logistik dalam perjuangan itu adalah persoalan yang harus diperhitungkan secara serius.
Laura    : Sekarang apa visi Bung Hafis dan kawan-kawan untuk gerakan-gerakan K2PSI ke depan?
Hafis    : K2PSI akan terus melangkah maju ke depan. Pada prinsipnya organisasi ini bergerak di bidang perumusan sejarah Indonesia. Selama ini kami baru sanggup mengadakan studi ilmiah dan penelitian tentang sejarah Indonesia, lantas mempublikasikan melalui media massa, radio hingga internet. Dengan segala keterbatasan dana dan biaya, kami akan terus melangkah maju, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat kami akan menggarap sekenario dan film tentang sejarah hidup para sahabat Bung Karno, para mantan tapol dan refuji yang ada di luar negeri.
Astuti    : Kira-kira apa pesan utama yang ingin Bapak sampaikan dalam karya-karya Bapak selama ini?
Hafis    : Kami ingin mengabarkan pada segenap rakyat Indonesia bahwa perjalanan hidup kita selama ini telah keliru dan menyimpang. Kita hidup di tanah air Indonesia, tapi kita telah dibutakan untuk memahami identitas keindonesiaan kita. Selama ini kita telah berbuat, bergerak bahkan berjuang secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dalam bahasa yang sederhana, bangsa ini mestinya cerdas dan makmur, karena bumi Indonesia telah dipenuhi syarat-syarat untuk menjadi cerdas dan makmur, tapi kenapa bangsa ini justru bekembang ke arah kemerosotan dan pendangkalan? Semua itu tidak diajarakan oleh pendahulu dan founding fathers kita. Lantas ada pola hidup dan gerakan apa selama tahun ini, hingga nasib bangsa bisa menjadi seperti ini? Siapa yang bertanggungjawab dalam membuat rencana dan agenda, hingga hari ini bisa menjadi lebih buruk dari hari kemarin? Lantas apakah hari esok akan kita biarkan juga menjadi lebih buruk dari hari ini? Kami ingin menegaskan kata "cukup", mulai sekarang kita katakan "cukup", dan kita kembali meneladani dan meneruskan jejak-langkah para pendahulu kita...
Laura    : Itukah yang sering Bung maksudkan dengan peradaban baru Indonesia?
Hafis    : Kalau saya sering mengungkap peradaban baru Indonesia di radio atau forum-forum diskusi, sebetulnya hanya soal kembali saja kepada jejak-langkah founding fathers kita. Kembali ke asas kita sebagai manusia Indonesia yang medeka dan berdaulat, kembali meneladani para pendahulu kita. Jangan sampai kita membenci dan memusuhi orang yang benar yang selama ini dipropagandakan Orde Baru, lantas kita dipaksa-paksa untuk mencintai orang yang salah. Karena itu peradaban yang tidak normal namanya. Sekarang kita jangan mudah terpengaruh oleh hasutan dan fitnah. Hormatilah orang yang layak mendapat kehormatan. Awas, jangan sampai terulang lagi, kita menjadi salah alamat dalam menghormati orang. Kita harus bedakan siapa itu Musa atau Firaun, siapa itu Alexander Agung atau Jenghis Khan, siapa itu Bung Karno atau Soeharto, siapa itu pembebas atau penjajah dan agresor, siapa itu pembangkit rakyat atau pembelenggu rakyat, siapa itu penegak keadilan atau perampas hak-hak rakyat? Kita harus berani mengatakan "cukup", dan tidak boleh lagi adanya pertumpahan darah di negeri yang sedang damai ini. Awas, jangan sampai terjadi lagi adanya pertempuran yang tidak seimbang di negeri ini, dan jangan biarkan terulang lagi adanya monumen kebohongan di negeri yang kita cinta ini...!

Banten, 14 Desember 2008
Read More......

Mengorbankan rakyat adalah "energi" bagi penerus Orde Baru

Oleh Hafis Azhari*

Bila kita mencermati jejak-langkah Bung Karno, serta gagasan pemikirannya tentang "demokrasi terpimpin", maka kita dapat menangkap adanya konsep politik universal yang melampaui sejarah politik Indonesia, bahkan melampaui pemikiran-pemikiran cerdas dari kalangan intelektual manapun.

Sepak-terjang pemikiran revolusioner dari Bung Karno, menelusuri proses penemuan jati-diri manusia, seperti halnya ia sering memberi amanat bahwa hakekat manusia Indonesia adalah "pemimpin" atau "khalifah" di muka bumi, yang harus bertanggungjawab kepada apa-apa yang dipimpinnya. Dan pemimpin yang sifat hakekatnya putih akan beranak putih; pemimpin yang sifat hakekatnya abu-abu akan beranak abu-abu; bergitupun pemimpin yang sifat hakekatnya hitam akan beranak hitam. Karenanya setiap pemimpin harus betul-betul sadar bahwa ia adalah "pencipta" yang memberi induksi kepada kesadaran dan peradaban rakyatnya, sedangkan pihak yang dipimpin hanyalah "peniru" yang meneladani jejak-langkah sang pemimpinnya.

Angkatan muda Indonesia harus pintar menyerap gagasan-gagasan Bung Karno terutama tentang konsep kepemimpinan dunia yang diungkap di berbagai kesempatan, yakni suatu konsep yang nampak berbeda dengan corak kepemimpinan demokratis yang selama ini digembar-gemborkan, yang mestinya berfungsi selaku pendidik yang menanamkan kebaikan, namun yang berjalan justru memanfaatkan kebodohan dan ketidaksadaran rakyatnya agar leluasa melenggang melestarikan kekuasaannya. Bagi politik kekuasaan semacam ini, tak mungkin ditemukan solusi apapun bagi kesejahteraan rakyat, namun justru merasa dirugikan apabila rakyatnya jadi cerdas dan melek politik, melek budaya dan ekonomi, yang dinilainya sebagai ancaman yang mengusik kursi kekuasaan yang dianggap keramat dan abadi itu.

Konsep dasar politik kekuasaan yang masih berlaku di negeri ini sangat bertolak-belakang dengan konsep yang digagas para founding fathers yang dengan tulus berjuang memberdayakan potensi-potensi manusia Indonesia, tanpa pandang bulu. Bung Karno tak bosan-bosan mengingatkan agar rakyat Indonesia jangan kejangkitan denkfout, kephobian atau kepanikan pada perbedaan-perbedaan golongan, suku-bangsa, agama dan aliran kepercayaan apapun. Sedangkan yang diperjuangkan para politisi dan penguasa (yang mewarisi Orde Baru) justru melestarikan kephobian dan ketakutan massa, bahkan menganggap dirinya akan tetap jaya dengan mengumbar seribu teror dan ketakutan kepada segenap rakyatnya. Loyalitas yang dibangun bukanlah atas dasar ketulusan tanpa pamrih untuk mendewasakan rakyat, namun hanya berdasarkan ketaatan yang berat-sebelah serta dipaksakan kepada pihak yang dianggap bawahannya.

Itulah yang menyebabkan masyarakat dunia selalu terbelenggu dan terbodohi oleh obsesi dan ambisi para penguasa yang sibuk menyangkal dan mendramatisir masalah, tanpa sungguh-sungguh mau belajar untuk memahami kekeliruan dan kekurangan dirinya, hingga setiap kritik dan pesan yang disampaikan, selalu dihadapi dengan prasangka-prasangka buruk yang mengundang anarki dan represif dengan mengatasnamakan stabilitas negara. Padahal tugas yang hakiki dari seorang pemimpin adalah membangkitkan dan memberdayakan potensi-potensi seluruh rakyatnya, lantas bagaimana fungsi kepemimpinan itu ketika memandang rakyat sebagai ancaman yang mencurigakan, dan bukan sebagai anak-didik yang harus dirangkul dan diperlakukan secara baik dan adil?

Dalam kaitan ini seorang budayawan Y.B. Mangunwijaya pernah menyatakan bahwa konsep kekuasaan tak pernah mengenal istilah "ketulusan" dan "keikhlasan". Dan selama bangsa kita tidak berpijak pada jejak-langkah founding fathers maka sulit untuk menyadari siapa yang harus berkorban bagi siapa? Apakah layak seorang pemimpin menuntut hak-haknya atas rakyat, selama ia belum memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin jujur yang layak diteladani oleh rakyatnya? Apakah seorang pemimpin sanggup berkorban dengan mangatakan "cukup", lantas rela mendistribusikan amal dan energinya demi kemaslahatan rakyat-banyak?

Hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian serius bagi pemikiran Bung Karno, suatu impian dan cita-cita luhur bagi sorga Indonesia yang dihuni oleh penduduk-penduduk berbakat dan berkualitas yang berjuang saling mencerdaskan dan mendewasakan, ketimbang mengumbar fitnah dan propaganda kosong, tanpa disertai tiang dan pondasi yang kelak meruntuhkan dirinya sendiri.

Karena itu sedikit bicara baik dan benar, akan sangat bermanfaat daripada sejuta omongan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Begitupun dalam memahami konteks Gearakan 30 September 1965, Bung Karno sejak pagi-dini tak mau terjebak di wilayah prasangka dan hypothesis belaka, namun tekun menelusuri sinthesis untuk menemukan benang-benang merah dari substansi persoalan yang sesungguhnya.

Demikianlah Bung Karno bapak bangsa kita. Ia mendambakan kemandirian rakyat yang lebih memahami kualitas daripada kuantitas, memahami hal-hal prinsipil yang harus menjadi prioritas, daripada menghabiskan waktu dan energi untuk mengurusi soal-soal remeh dan sepele semata. Sedangkan pemimpin yang terus-menerus bersemangat membodohi dan mengelabui rakyatnya, sebetulnya tak lebih dari seorang pecundang yang akan mengusik kebebesan berpikir, serta merecoki pemekaran kedewasaan rakyatnya sendiri.

Karenanya ia pun pernah berpendapat bahwa asas kekuasaan dunia yang selama berabad-abad mempunyai prinsip "menang-kalah", kini harus dirubah pada prinsip-prinsip yang berasas pada soal baik atau jahat, benar atau salah atau keliru.

Dengan demikian akan mudah ditemukan garis pemisah dalam sejarah republik kita: siapakah pahlawan yang menanamkan benih-benih kebaikan dan keindahan, atau siapakah pecundang yang mewariskan ketakutan, kebencian dan kerusakan di mana-mana?

Dalam buku "100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum)" Joesoef Isak telah menorehkan garis besar bahwa pergelutan keindonesiaan kita akan terus-menerus mengalami problem kemanusiaan yang universal, yakni tarik-menarik antara kepentingan demokrasi liberal ataukah bentuk demokrasi yang terarah dan terpimpin? Karena itu sosok kepemimpinan Bung Karno (dengan segala kekurangannya) tetaplah menjadi prioritas cermin dan teladan yang mengungguli semua tokoh Indonesia manapun.

"Bung Karno adalah intelektual dan pejuang revolusioner yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya demi keselamatan bangsanya," demikian tandasnya.

Hingga kita pun teringat pada pernyataan sahabat dekatnya Pramoedya Ananta Toer, yang suatu kali menegaskan pada saya (sebelum wafatnya): "Tidak ada alasan bagi siapapun untuk menilai Bung Karno sebagai diktator. Tapi justru dialah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern yang berhasil menyatukan negeri dan nasionnya tanpa meneteskan darah!" Kemudian Joesoef lebih melengkapi dan membandingkannya dengan Soeharto dan Orde Barunya yang tega membantai dan menjebloskan ke penjara jutaan warganegaranya sendiri, hingga Indonesia merasa kehilangan manusia-manusia berbakat dan berpotensi bagi pondasi-pondasi pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab, yang akibatnya telah kita rasakan bersama.

Mari kita menghargai dan menghormati bapak-bapak bangsa yang berhak mendapat kehormatan, yang telah mengilhami kebenaran sebagai kebenaran, dan telah membuka pintu-pintu gerbang bagi fajar pencerahan Indonesia di masa yang akan datang.

Bung Karno telah memberi teladan bagi kita semua bahwa persoalan "kebaikan" bukanlah monopoli bagi orang kapitalis atau komunis, kanan-kiri, Kristen-Islam, Jawa-Sunda atau militer-sipil, tapi merupakan hak bagi sang penanam kebaikan yang pasti akan terkenang dalam sejarah (dengan sendirinya). Karena toh pada akhirnya seorang manusia tak mungkin menyiasati dirinya sendiri agar tercatat dalam sejarah....

Banten, 13 Desember 2008
*Ketua Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia (K2PSI)
Read More......

Rabu, 26 November 2008

Memberdayakan potensi manusia Indonesia secara manusiawi

Ada pernyataan menarik yang diungkap sejarawan muda Indonesia, Asvi
Warman Adam di seputar 17 Agustus 2007 kemarin, khususnya mengenai
"Surat Wasiat Bung Karno", bahwa bila terjadi hal-hal yang menghalangi
dirinya dalam memimpin perjuangan (tahun 1945), maka kepemimpinan
Indonesia diserahkan kepada Saudara Tan Malaka. Pada beberapa acara
televisi Asvi menyatakan bahwa nama Tan Malaka kemudian menghilang dan
dihapus oleh Orde Baru, justru agar generasi muda tidak bisa mengenal
kebesaran beliau. Kepercayaan Bung Karno itu, oleh Tan Malaka dianggap
sebagai sikap yang menghargai dirinya, namun tidak terbetik dalam
pikirannya untuk mengambil-alih kekuasaan, karena ia merasa bersyukur
atas kejayaan Indonesia di bawah panji-panji kepemimpinan
Soekarno-Hatta.

Konon beberapa sejarawan Barat telah menuding Tan Malaka yang dinilai "senang pamer" mengenai Surat Wasiat terebut,seakan-akan dapat berfungsi sebagai "rekomendasi" (seperti supersemar)yang kelak dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan. Padahal Surat Wasiat itu adalah keniscayaan sejarah revolusi kita (saat itu), mengingat
sulitnya posisi Indonesia dalam mengikuti berbagai pengambilan
keputusan secara konstitusional, sampai kemudian Hatta pun tak
keberatan dengan pewaris tunggal yang ditunjuk Bung Karno tersebut.
Namun akhirnya, Surat Wasiat itu hanya menjadi bahan perbincangan dalam
sejarah kita, mengingat perjalanan republik tak pernah dihadapkan pada
situasi yang memungkinkan wasiat itu dapat terlaksana. Dan Tan Malaka
pun (saya pikir) cukup berjiwa besar untuk menerima kenyataan itu apa
adanya. Adapun perbincangan itu terus bergulir, hingga kalangan
intelektual muda banyak bertanya-tanya: "Kenapa yang diberi wasiat
tidak tampil, tapi malah seorang jenderal tiba-tiba muncul dengan
Supersemar yang masih disembunyikan dokumen aslinya?" Pertanyaan
sederhana kemudian muncul lagi: "Kenapa nama Tan Malaka dihapus dalam
sejarah Indonesia, padahal andilnya cukup besar dalam perjuangan
kemerdekaan kita?" Barangkali jawabannya simpel saja: karena Tan Malaka
seorang muslim yang cerdas, dan (meskipun berhaluan kiri) ia cukup
memahami budaya dan karakter manusia Indonesia secara integral. Dan
seperti kesaksian yang disampaikan Sajoeti Melik pada tahun 1972-an
(Liber Amicorum Bung Karno, hlm. 228), bahwa: "Saya mengenal Tan Malaka
sebagai orang yang tidak percaya pada tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam pergaulan sehari-hari, ia berusaha menjaga kemurnian jiwanya.
Bicaranya terus-terang, dan jika tidak memungkinkan, lebih baik ia
memilih diam. Ia tak suka berbohong apalagi memfitnah. Ia berani
menjalani hidup dalam kesendirian, siap berkorban, dan tidak
mengutamakan ambisi-ambisi pribadi..."
Read More......

Solusinya terletak pada kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya

Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan rakyatnya berkembang secara
liberal, bebas dan tak terkendali. Ia punya tanggungjawab moral untuk
mengarahkan rakyatnya kepada jalan hidup yang lebih baik dan benar.
Selama ia tak sanggup untuk introspeksi-diri, tak jujur dan bersikap
mendua, maka akhirnya ia pun harus berjiwa besar mengikhlaskan dirinya
untuk tidak dihargai dan dihormati rakyatnya.

Dengan demikian ia tak punya "energi" untuk memerintah atau menjalankan sistem presidentil,hingga ujung-ujungnya hanya membiarkan saja sistem demokrasi liberal
berjalan, sampai pada titik menyerah atau turun dari jabatannya. Di
sini kita tidak membahas soal NKRI, Federal atau Ortonomi, tetapi
sistem pemerintahan yang berjalan dari zaman ke zaman, yang terumuskan
dalam istilah "khilafah", "demokrasi terpimpin" atau "apa saja", bahwa
selama pemimpin itu tak punya kemauan-keras untuk merubah dirinya untuk
bisa merubah rakyatnya, niscaya ia akan sampai pada titik kediktatoran
atau ketidaksabaran menghadapi keadaan rakyatnya yang berragam etnik
budaya dan peradaban, sampai ia pun keliru dalam menentukan
"korban-korbannya". Dengan demikian, selama ia tetap bersikeras
mempertahankan kekuasaannya, keangkuhannya, maka ia pun akan menghadapi
pengulangan dan pengulangan yang sama, hingga ia termasuk dalam
kategori "munafik" yang disinyalir dalam Al-Quran.
Read More......

Rabu, 19 November 2008

Demokrasi terpimpin adalah Keniscayaan

Disunting Oleh: Muhamad Thorik

Puncak dari segala puncak perpolitikan Indonesia terjadi pada saat menggelindingnya isu demokrasi terpimpin. Dekrit 5 Juli 1959 adalah titik awal di mana Indonesia memberanikan diri melakukan petualangan politik serta ikhtiar bagi pencarian jatidiri suatu bangsa yang baru merdeka dan berdaulat.

Kepungan negara-negara imperialis serta mengerasnya raja-raja kapital dalam membangun kekuatan status quo, membuat bung Karno tak bergeming untuk bereksprementasi menciptakan Indonesia baru bahkan mengumandangkan tata dunia baru ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sudah dipertimbangkan sejak mula-mula bahwa demokrasi-barat yang sedang berjalan, setelah 50 persen tambah satu anggota parlemen mengambil keputusan, jutaan rakyat tertindas tidak begitu saja puas dan senang menerima nasib yang sudah diputuskan secara demokratis di dewan perwakilan tersebut.

Hal ini bukan lantas Bung Karno identik dengan anti Barat. Sama sekali tidak. Ia cukup tegas mengakui sumbangan pencerahan para pemikir Barat bagi kemerdekaan nasional serta hak individu dan hak-hak asasi manusia.

Bung Karno adalah pemimpin yang sangat jeli dalam mempertimbangkan segala perbandingan, terutama setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di seluruh dunia bahwa rakyat tertindak yang ingin memperbaiki nasibnya pada akhirnya selalu berada di pihak yang kalah. Sedangkan kaum pemodal (kapitalisme) selalu saja memang dan berhasil dalam memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan baginya.

Kenyataan tersebut membuat Bung Karno sampai pada kesimpulan bahwa dengan menggalang persatuan dan kesatuan nasional maka rakyat-rakyat tertindak dapat memenangkan “pertarungan” hingga dapat memperoleh kesempatan untuk memperbaiki nasibnya.

Dari sini bisa kita lihat bahwa kesatuan dan persatuan yang dicita-citakan bung Karno bukanlah suatu megalomania untuk mencapai kejayaan ‘Indonesia Raya’ tetapi memang prasyarat dan bagian dari konsep demokrasinya bung Karno demi penegakan demokrasi itu sendiri, terutama untuk memberdayakan segenap rakyat dalam membangun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya.

Bila kita bicara tentang demokrasinya Bung Karno maka kita sudah masuk pada persoalan “demokrasi terpimpin”yang dianggap tabu dan angker, khususnya oleh mereka-mereka yang tidak mengerti – dan tidak mau mengerti – apa dan bagaimana demokrasi terpimpin itu bisa muncul dan berkumandang di bumi Indonesia.

Para penulis barat pada umumnya hanyalah melakukan analisis bagi pembenaran hypothesa belaka, yang dipandang dari sudut kebaratannya. Padahal demokrasi terpimpin jelas berbeda, karena merupakan ikhtiar terobosan serta pergelutan menemukan synthesa dari iklim demokrasi barat yang sudah berabad-abad lamanya.
Read More......

Selasa, 18 November 2008

Mencermati Founding Fathers RI

Disunting oleh: Muhamad Thorik

Bagi Bung Karno jelas bahwa musuh-musuh utama yang dihadapi bangsa Indonesia bukanlah kawan-kawan sebangsa atau setanah air sendiri. Musuh utama tersebut adalah perjuangan keras serta ambisi-ambisi keserakahan dari unsur status quo neokolonialisme dan imperialisme yang tidak pernah mau mengalah apalagi menyerah.

Unsur nekolim itu dengan gencar memainkan segala siasat dan tipu muslihat untuk memecah-belah para pejuang kita, terutama juga persaudaraan di kalangan intelektual RI. Bagi mereka persatuan-kesatuan banga berkembang akan mengancam peranan mereka dalam melancarkan operasi-operasinya di bidang ekonomi, demi kemakmuran mereka serta klik kepentingan ekonomi bagi suatu nasion tertentu.

Sadar tak sadar, para intelektual kita sungguh telah tersusupi oleh usaha-usaha dari kepanjangan tangan politik divide et impera tersebut. Selama puluhan tahun mereka direcoki oleh perdebatan-perdebatan sengit tak berguna serta memakan waktu dan energi yang serba mubasir dan sia-sia.

Gejala negatif yang mencemaskan pada kaum intelektual kita, adalah bahwa mereka menelan mentah-mentah dan memamah-biak pendapat para pakar asing yang dijadikan rujukan, dan akhirnya mengkerangkeng daya kemandirian berpikir mereka sendiri.

Di antara Soekarno-Hatta-Syahrir dan Soebadio, Amir Syarifudin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka, Moh. Roem dan lain-lain. Adalah para founding father yang mempunyai bakat, kemampuan dan fitrahnya masing-masing. Mereka memang berbeda, tetapi persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi itulah yang menjadi potensi dan asset nasional kita yang sangat berharga, suatu modal besar untuk membangun dan menempuh masa depan Indonesia yang lebih baik.
Read More......

Senin, 17 November 2008

Pemikiran Joesoef Isak (II)

Diawali dari Keteladanan Soekarno

Oleh: Hafis Azhari


Pada dasarnya setiap manusia hidup adalah terpimpin, yang kemudian terus berkembang untuk bersiap-siap menjadi pemimpin. Sejak lahir manusia diasuh, dibina, diberi pelajaran dan pengetahuan tentang hidup, tentang bagaimana menjalai proses kehidupan yang baik. Setiap masukan yang diberikan dalam pikiran dan benaknya, selayaknya adalah pelajaran tentang bagaimana ia menghadaipi dirinya, sesamanya, lingkungan dan dunianya, yang kemudian ia bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran kepada sesamanya pula.

Manusia yang terlahir lebih dulu, selayaknya bertanggungjawab untuk mendidik yang terlahir kemudian, yang tua bagi yang muda, dan singkatnya yang berpengetahuan kepada yang belum (tak) berpengetahuan.

Semua pendidikan itu berporos pada upaya-upaya untuk mencari jatidirinya sebagai manusia. Suatu upaya hidup yang berkemanusiaan dan bermoral. Supaya manusia dapat hidup secara lebih manusiawi. Karena itulah maka seorang pemimpin bertanggungjawab mengjarkan moralitas kepada orang-orang yang dipimpinya, yaitu kepada rakyatnya.

Dalam kaitan ini Joesoef Isak menegaskan:

Bung Karno adalah pemimpin dan guru saya sekaligus. Pidato-pidatonya sangat memukau sejak usia saya belasan tahun. Berkat dialah masa muda saya begitu bergairah dan bersemangat untuk berjuang melawan penjajahan. Dan sebagai anak remaja pada mulanya saya hanya ikut-ikutan berjuang, yang kemudian bung Karno pun tak bosan-bosan mengajari orang-orang seusia kami mengenai makna perjuangan.

Semangat perjuangan itu terus tertanam dalam dirinya. Di usia belasan tahun ia telah beberapa kali bergabung dalam dunia pergerakan, hingga ketika pendudukan Jepang (1942 -1945) ia berusaha melawan dengan hanya bersenjatakan ketapel dan bambu runcing.

Rumah kami persis di sebelah tahanan sekutu (kini Gedung Kebangkitan Nasional). Karena itu keluarga saya selalu mengalami pengejaran oleh serdadu-serdadu NICA, Jepang, hingga terus menerus mengungsi dari satu tempat ke tempat lain.

Pidato-pidato Bung Karno yang disiarkan melalui gelombang-gelombang radio di seluruh penjuru negeri, semakin mengobarkan semangat dan bara api perjuanganya. Sebagai anak muda Joesoef bersikeras mengisi masa-masa mudanya dengan sesuatu yang bermakna bagi perjuangan. Baginya perjuangan tidaklah sebatas berperang atau bertempur mengangkat senjata. Setiap saat dalam fitrah kehidupan manusia haruslah diisi dengan perjuangan, karena hidup itu sendiri adalah perjuangan. Ia berusaha memanifestasikan makna perjuangan itu dalam bentuk karya nyata, perbuatan, yang bukan bersenjatakan meriam ataupun bedil tetapi dengan pena.
Read More......