Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Minggu, 21 Desember 2008

Benar, Salah dan Keliru

Oleh: Hafis Azhari
(disunting dari buku 100 Tahun Bung Karno, Penerbit: Hasta Mitra)


Suara azan bergema: "Allahu Akbar!"
Namun kerumunan itu masih saja melempar rumah sambil berteriak,
"Allahu Akbar!"
Dua orang berseragam terus memberi komando.
Aku sendiri bingung harus berbuat apa, bicara apa,
Cuma dua kata yang kemudian keluar dari mulutku:
"Allahu Akbar..."
Rumah itu lantas dibakar habis hingga api berkobar-kobar
Suaranya bermeratak bersatu-padu
Dengan sayup-sayup suara azan di kejauhan sana
Juga teriakan 'Allahu Akbar' bersatu-padu
dengan panggilan untuk mengingat Tuhan Sang Pengasih,
Tak lama kemudian, sesosok tubuh berpakaian kumal tercabik-cabik serta
kulit-kulit terkelupas.
Muncul dari rumah yang sudah hangus berantakan,
Pada kerumunan itu ia mentap tajam penuh makna
Ia tak berkata-kata hingga jatuh tergeletak
Hanya "Allahu Akbar" itu saja yang aku dengar sebelum ajalnya,
Tetapi masih saja aku bingung harus berbuat apa
Dan siapa pula yang bisa memastikan:
"Allahu Akbar" mana yang benar
"Allahu Akbar" mana yang salah
dan "Allahu Akbar" mana yang keliru? Read More......

Minggu, 14 Desember 2008

Menyatukan Indigo bagi Indonesia

“Menurut sejarah, kabarnya Pancasila disusun oleh seorang anak Indigo yaitu Mpu Prapanca yang menulis Nagarakartagama.” Itulah yang dipercaya KH Amiruddin Syah dari Institut Kajian Tasawuf Az Zukhruf, Jakarta.

Dalam magnum opus abad 14 karya pendeta sekaligus jurnalis Kerajaan Majapahit itu tertulis Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian disempurnakan oleh Mpu Tantular.

Bhinneka Tunggal Ika kemudian dipahami sebagai budaya yang berbeda-beda namun tujuannya adalah satu dan agama yang berbeda juga bertujuan satu yakni Allah dan Kehidupan yang baik.

Namun generasi atau anak Indigo? Apaan sih?


Generasi Indigo, menurut Ketua Umum Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) Rossini Larasati, diyakini sebagai orang yang memiliki kemampuan kecerdasan spritual sejak lahir yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Kemampuan orang atau anak Indigo, menurut Rossini, tidak hanya terletak pada rata-rata IQ-nya, tetapi juga karena generasi ini memiliki indera keenam, yang menjadikan kelompok ini istimewa.

Kenapa istimewa karena menurut Amiruddin Syah, ciri tambahan dari anak indigo adalah memiliki energi yang berlebih dan sensor spektrum penglihatan di atas rata-rata anak normal.

Indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh.

Posisi cakra indigo ada di kening atau di tengah cakra leher berwarna biru dan cakra puncak kepala yang berwarna ungu. Cakra biru adalah spektrum bagi penalaran atau berpikir. Sementara nila yang memiliki panjang gelombang di atas biru merupakan cakra spiritual.

Karena memiliki cakra indigo, bisa dipastikan anak-anak indigo adalah sosok yang cerdas, kreatif dan umumnya memiliki kemampuan spiritual tinggi sehingga mereka kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu.

Beberapa mampu melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa yang biasa disebut kemampuan extra-sensory perception (ESP) alias indra keenam.

Maksudnya? Hollywood menceritakan kisah anak indigo dalam The Sixth Sense ada juga yang berbau superhero seperti Hellboy. Sementara di layar kaca, Anda tentu akrab dengan serial The X-Files dengan pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny.

Ketempelan jin

Bagaimana Indonesia? Jelas banyak. Sayang kisah luar biasa indigo justru cenderung dibumbui pandangan klenik. Akibatnya banyak orangtua di Indonesia yang malah salah duga dan salah mendidik.

Orang tua di Indonesia justru ketakutan dan membawa anak indigo mereka kepada paranormal untuk dijampi-jampi. Maklum anak indigo kerap berperilaku abnormal.

Misalnya bertepuk tangan sendirian atau ngobrol sendiri sembari “mojok” dalam ruangan. Suatu tindakan yang cenderung membuat orangtua berpikir anaknya ketempelan jin.

Pada sisi lain ada pula indigo yang menampilkan kecerdasan spiritualitas mereka melalui ucapan atau tindakan cerdas dan bijaksana pada usia yang relatif muda yang setara atau bahkan melebih orang dewasa seperti kemampuan banyak bahasa.

“Karena tidak terpahami, komunitas indigo mendapat tentangan dari masyarakat yang tidak memahami indigo,” ujar Rossini yang juga menjadi konsultan dari generasi indigo.

Sedangkan Amiruddin Syah yang memimpin Institut Tasawuf lebih memberikan pendekatan tasawuf terkait dengan spiritualitas adalah mencari Allah dengan peralatan atau sarana yang telah Allah berikan kepada manusia.

Institut Tasawuf selain mengarahkan anak indigo juga mendidik orangtua yang memiliki anak indigo agar kemampuan anak indigo tak luntur.

Melihat potensi yang besar ini Rossini Larasati bersama beberapa orang tua yang peduli pada anak-anak indigo membentuk Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) akhir pekan lalu dengan mengambil gelaran puncak Sarasehan Kebudayaan Indigo untuk Indonesia.

Tujuannya agar individu pemilik kecerdasan spritual super tersebut bisa memberikan manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia.

“Jika kemampuan komunitas indigo ini dapat diakomodir dan dikembangkan dengan baik tentu akan memberi manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia,” ujarnya.

Maklum karena ketidaktahuan atau pemahaman indigo, masyarakat ataupun orangtua dari anak indigo sering memandang anak indigo sebagai anak yang membutuhkan pendampingan khusus.

Pemahaman bisa terjadi atau berkembang jika komunitas indigo yang terbentuk bisa membantu generasi indigo untuk tumbuh berkembang sesuai dengan pola-pola pendidikan yang seharusnya diterima.

Dengan adanya lembaga KPSII, spiritualitas bangsa Indonesia bisa terbangun dengan peran serta dari kelompok indigo yang memang sejak lahir memiliki kepekaan spiritualitas yang tinggi.

Uniknya karena sejak awal mengurus hal-hal kemampuan kasat mata dan tak terukur secara kualitatif sejak awal KPSII cenderung bergerak sebagai kelompok diskusi, konseling atau pendampingan bagi indigo muda dan orangtua yang anaknya terlahir sebagai indigo dan sekaligus penyebaran informasi dan konsultasi.

Namun andai pemerintah tanggap, seharusnya ada perhatian lebih pada generasi indigo karena memiliki kemampuan menjadi agen perubahan sosial.

Pasalnya menurut ramalan, komunitas ini akan memadati Jawa dan diperkirakan untuk dua tahun ke depan bakal terkumpul 5797 powerful indigo. Artinya dua tahun lagi akan ada perubahan penting yang menggegerkan Indonesia.
Read More......

Sabtu, 13 Desember 2008

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari
Oleh Laura Irawaty
(Sekjen Gema Nusa Propinsi Banten)

Beberapa waktu lalu saya bersama Astuti dari Majalah Tiras (lokal) berhasil mewawancarai Hafis Azhari di kediamannya di Kampung Jerang Hilir pedalaman Kota Cilegon, khususnya mengenai penerbitan novel "Petunjuk dari Lubang Buaya (PDLB)" di media intenet. Berikut ini hasil wawancara kami, setelah mengedit beberapa bagian yang tak mungkin dimuat sepenuhnya, tapi kami berupaya untuk tidak mengurangi hal-hal substantif yang harus diungkap di sini. Selamat membaca.


Laura    : Sebetulnya bagaimana asal-muasalnya hingga novel Bung bisa beredar luas dan dibaca banyak orang di internet itu? Apakah betul bahwa hal itu di luar pengetahuan Bung Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, siapa bilang? Saya tahu kok. Waktu Bung Thorik (Muhammad Thorik, ed) bolak-balik ke rumah saya setelah membaca naskah itu, lantas menawarkan untuk membuatkan blog khusus hingga novel itu terpublikasi, semuanya dengan seizin saya, meski ada bagian-bagian yang belum termuat, dan masih berproses hingga saat ini.
Laura    : Jadi Bung sendiri yang menahan sebagian naskah itu hingga belum sepenuhnya termuat?
Hafis    : Iya betul.
Astuti    : Bagaimana ceritanya hingga Pak Hafis menulis novel PDLB itu? Apakah betul rumor yang beredar selama ini bahwa naskah itu adalah sejarah hidup Pak Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, tidak juga, meski ada bagian-bagian penting yang saya ambil dari pengalaman hidup saya. Tapi seumumnya adalah bagian dari pengalaman hidup bangsa ini, termasuk pengalaman kalian juga, hehe.
Laura    : Bagian mana yang bukan pengalaman hidup Bung?
Hafis    : Saya kan kuliah di UIN Jakarta pada jurusan Teologi dan Filsafat, tapi pada novel itu saya bikin seakan-akan saya gagal masuk Sekolah Tinggai Filsafat Driyarkara. Juga tentang penyerbuan-penyerbu an kantor itu. Saya hanya menghimpun dari kesaksian orang-orang yang terlibat, khususnya para korban, termasuk informasi dari koran-koran yang beredar saat itu. Tapi intinya saya tidak hendak mengungkap kebenaran secara mutlak, tapi saya ingin menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang merupakan substansi dari ilmu sejarah itu sendiri.
Astuti    : Tapi yang disampaikan dalam novel PDLB banyak yang sesuai dengan fakta di lapangan, misalnya kasus Trisakti, penyerbuan kantor PDI-P, kasus LBH Bandung, Romo Sandyawan, Pius Lustrilanang, Wiji Thukul, bahkan kasus-kasus Kedungombo hingga pembunuhan Munir. Apakah Bung sempat mengadakan kros-cek yang intensif dengan tokoh-tokoh yang terlibat di lapangan?
Hafis    : Silakan saja di-kroscek oleh pihak-pihak akademisi atau pihak-pihak yang berkompeten, hingga terjadi harmoni dan kesenyawaan yang menyeluruh, meskipun suatu novel tetap pekerjaan tangan dan pikiran yang tidak (belum) sempurna betul. Semua kita adalah bagian dari proses sekaligus terlibat dalam proses. Dan sejerah itu sendiri adalah kebenaran yang terus berproses, mungkin hingga kiamat.
Laura    : Maksud Bung?
Hafis    : Ya sejarah yang dituliskan itu kan hasil kreasi atau konstruksi memori dan pikiran manusia. Orang yang menggarap dengan kekuatan rasio ilmiah pun, tetap masih mungkin adanya kekurangan dan kekeliruan. Kita manusia hanya bisa berusaha sekuat mungkin.
Astuti    : Kalau konstruksi buatan manusia seperti maksud Bapak, berarti suatu tulisan itu boleh jadi hasil rekaan atau kebohongan?
Hafis    : Bukankah karya sastra itu identik dengan hasil karangan, termasuk karya-karya Pram atau para peraih nobel sekalipun. Sekuat apapun didasari sejarah, masih tetap tergantung dari motivasi pengarangnya. Tapi intinya, kalaupun manusia terpaksa membuat kebohongan, masalahnya kebohongan itu diciptakan untuk menyelamatkan dan mendamaikan manusia, atau justru untuk merusak, membunuh dan memfitnah manusia? Menurut saya, dalam iklim negara yang tidak adil, kesantunan atau kejujuran mutlak itu tidak selamanya baik.
Astuti    : Kabarnya Pak Hafis juga pernah mempublikasikan sejarah hidup korban-korban 65 di internet? Apakah Bapak tidak mempertimbangkan sisi komersilnya?
Hafis    : Saya pernah dibantu oleh sebuah lembaga kebudayaan di Jakarta untuk mengadakan penelitian di Banten, tentang korban-korban Orde Baru. Meskipun riset-riset tentang para korban Orde Baru telah saya lakukan sejak tahun 1995-an. Untuk program itu saya pernah dipertemukan dengan Hersri Setiawan, Goenawan Mohamad, Hermawan Sulistyo, Asvi Marwan Adam, bahkan dengan anak-anak jenderal korban 1965 lalu. Mereka menamakan program itu dengan "Historical Memories di Indonesia".
Laura    : Bagaimana dengan Joesoef Isak yang biografinya Bung publikasikan juga?
Hafis    : Oh, biografi Joesoef Isak itu kan masih draft. Kalau itu, tak ada hubungannya dengan penelitian saya di Banten. Joesoef Isak tinggal di wilayah Duren Tiga Jakarta. Adapun penulisan biografi itu murni atas inisiatif saya dan teman-teman K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia, ed).
Astuti    : Banyak pembaca yang mengungkap adanya kekuatan pikiran, atau kekuatan bahasa dari Pak Hafis dalam penulisan biografi Joesoef itu, seakan-akan naskah itu sudah matang betul. Apakah sebelumnya ada lembaga khusus yang membiayai program itu?
Hafis    : Wah, sampai saat ini belum ada sama sekali. Sampai sekarang naskah itu belum selesai kan? Padahal sudah dibaca ribuan orang. Suatu hari saya pernah dipertemukan dengan seseorang yang datang dari Belanda, yakni seorang mahasiswa yang kuliah di luar negeri sejak tahun-tahun 1960-an, kemudian di bawah rejim Soeharto ia tak bisa pulang ke Indonesia. Beliau membantu sekedarnya atasnama pribadi, bukan lembaga, dan kami mengucap banyak terimakasih. Tapi mengenai naskah biografi itu, di kemudian hari kami sadar betul bahwa program itu adalah program besar yang membutuhkan waktu, energi dan biaya tinggi...
Laura    : Apakah Bung pernah menghubungi lembaga penyandang dana melalui internet?
Hafis    : Dulu pernah ada yang membuatkan pengumuman melalui internet. Tapi saya sendiri jarang buka internet, bahkan nomor password saya sering dipakai teman-teman pengurus K2PSI. Saya cuma mendatangi warnet (warung internet, ed) kalau ada tulisan yang perlu disampaikan ke publik. Di kampung ini belum ada jaringan internet, jadi saya harus pergi ke pusat Kota Cilegon. Kalau perlu diadakan jaringan khusus, mungkin biayanya tinggi, dan kami tak sanggup membayar. Karena itu mohon maaf kalau saya tak pernah komunikasi lewat internet. Tapi kalau nomor handphone, selalu hidup dan tak pernah saya matikan.
Astuti    : Kira-kira pesan apa yang ingin Bapak sampaikan melalui biografi Joesoef Isak itu?
Hafis    : Pada prinsipnya tak jauh beda dengan novel PDLB, juga dengan tulisan-tulisan saya yang lainnya. Saya ingin membedah otak-otak manusia Indonesia agar berpikir, berpandangan, bertutur-kata, bahkan bersikap sebagaimana adanya manusia Indonesia. Karena Orde Baru telah menculik indentitas dan jati-diri kita selama ini, hingga kebanyakan kita tumbuh secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dan saya sudah menyiapkan beberapa novel lagi tentang peristiwa 1965 itu. Saat ini dua novel saya sudah ada di tangan sebuah penerbit di Jakarta.
Astuti    : Bagaimana kalau ada penerbit di Banten ini yang meminta tulisan-tulisan Bapak? Dan bagaimana Bapak sendiri memandang tentang dunia penerbitan akhir-akhir ini?
Hafis    : Dunia penerbitan baik-baik saja, meskipun kita perlu punya pengertian tersendiri tentang industri penerbitan. Di Jaman Orde Baru, dunia penerbitan itu termasuk bisnis kapitalisme yang bergerak secara sepihak. Jadi bagian dari konstruksi buatan orang-orang yang mendukung rejim militer juga, bahkan masih diwariskan hingga hari ini. Siapa berhak menerbitkan dan diterbitkan, dan apa motoivasi si penulis hingga mengajukan sesuatu untuk diterbitkan?
Laura    : Lantas, siapa yang berani menerbitkan novel PDLB, atau karya-karya Bung yang lainnya?
Hafis    : Pada waktunya akan tampil juga ke permukaan. Segala sesuatu ada musimnya tersendiri. Tapi oke, sekarang saya ingin sampaikan ke publik bahwa naskah biografi Joesoef Isak yang pernah saya beri judul "Wartawan Pembela Bung Karno" pernah ditolak beberapa waktu lalu oleh Penerbit Gramedia (P.T. Gramedia Pustaka Utama, ed) yang ditandatangani oleh seorang manager bernama Siti Gretiani. Dan surat penolakannya masih ada di tangan saya sekarang.
Astuti    : Juga naskah PDLB?
Hafis    : Kalau PDLB selengkapnya sudah ada di tangan penerbit di Jakarta. Beberapa tahun lalu draft naskah PDLB pernah dibaca oleh Pramoedya (sebelum wafat), sampai-sampai ia mempertemukan saya dengan penerbit di Utan Kayu. Tapi sekarang naskah lengkapnya sudah ada yang pegang.
Laura    : Kabarnya teman-teman Joesoef Isak yang di luar negeri ikut menghadiri acara "Liber Amicorum Joesoef Isak" di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Apakah Bung juga menyumbangkan tulisan seperti yang pernah Bung sumbangkan untuk Liber Amicorum Bung Karno dulu?
Hafis    : Saya diminta menyumbang tulisan oleh Bung Bonnie Triyana selaku penyelenggara. Dalam beberapa hari langsung saya kirimkan tulisan itu. Saya senang sekali mendapat kepercayaan untuk menyumbang tulisan tentang Joesoef Isak itu.
Astuti    : Saat ini program apa yang sedang Bapak jalankan bersama K2PSI?
Hafis    : Saat ini kadang-kadang kami harus menyelesaikan satu sampai tiga program kegiatan. Namun diperlukan adanya prioritas terpenting untuk diselesaikan. Karena sering terbentur soal dana, bila ada kegiatan ABC terpaksa kami dahulukan program yang ada dananya, biarpun di posisi C atau B. Inilah yang menjadi kendala kami, sering terbentur soal skala prioritas. Padahal di jaman kebangkitan Indonesia sejak 1908, 1928 hingga 1945, persoalan logistik dalam perjuangan itu adalah persoalan yang harus diperhitungkan secara serius.
Laura    : Sekarang apa visi Bung Hafis dan kawan-kawan untuk gerakan-gerakan K2PSI ke depan?
Hafis    : K2PSI akan terus melangkah maju ke depan. Pada prinsipnya organisasi ini bergerak di bidang perumusan sejarah Indonesia. Selama ini kami baru sanggup mengadakan studi ilmiah dan penelitian tentang sejarah Indonesia, lantas mempublikasikan melalui media massa, radio hingga internet. Dengan segala keterbatasan dana dan biaya, kami akan terus melangkah maju, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat kami akan menggarap sekenario dan film tentang sejarah hidup para sahabat Bung Karno, para mantan tapol dan refuji yang ada di luar negeri.
Astuti    : Kira-kira apa pesan utama yang ingin Bapak sampaikan dalam karya-karya Bapak selama ini?
Hafis    : Kami ingin mengabarkan pada segenap rakyat Indonesia bahwa perjalanan hidup kita selama ini telah keliru dan menyimpang. Kita hidup di tanah air Indonesia, tapi kita telah dibutakan untuk memahami identitas keindonesiaan kita. Selama ini kita telah berbuat, bergerak bahkan berjuang secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dalam bahasa yang sederhana, bangsa ini mestinya cerdas dan makmur, karena bumi Indonesia telah dipenuhi syarat-syarat untuk menjadi cerdas dan makmur, tapi kenapa bangsa ini justru bekembang ke arah kemerosotan dan pendangkalan? Semua itu tidak diajarakan oleh pendahulu dan founding fathers kita. Lantas ada pola hidup dan gerakan apa selama tahun ini, hingga nasib bangsa bisa menjadi seperti ini? Siapa yang bertanggungjawab dalam membuat rencana dan agenda, hingga hari ini bisa menjadi lebih buruk dari hari kemarin? Lantas apakah hari esok akan kita biarkan juga menjadi lebih buruk dari hari ini? Kami ingin menegaskan kata "cukup", mulai sekarang kita katakan "cukup", dan kita kembali meneladani dan meneruskan jejak-langkah para pendahulu kita...
Laura    : Itukah yang sering Bung maksudkan dengan peradaban baru Indonesia?
Hafis    : Kalau saya sering mengungkap peradaban baru Indonesia di radio atau forum-forum diskusi, sebetulnya hanya soal kembali saja kepada jejak-langkah founding fathers kita. Kembali ke asas kita sebagai manusia Indonesia yang medeka dan berdaulat, kembali meneladani para pendahulu kita. Jangan sampai kita membenci dan memusuhi orang yang benar yang selama ini dipropagandakan Orde Baru, lantas kita dipaksa-paksa untuk mencintai orang yang salah. Karena itu peradaban yang tidak normal namanya. Sekarang kita jangan mudah terpengaruh oleh hasutan dan fitnah. Hormatilah orang yang layak mendapat kehormatan. Awas, jangan sampai terulang lagi, kita menjadi salah alamat dalam menghormati orang. Kita harus bedakan siapa itu Musa atau Firaun, siapa itu Alexander Agung atau Jenghis Khan, siapa itu Bung Karno atau Soeharto, siapa itu pembebas atau penjajah dan agresor, siapa itu pembangkit rakyat atau pembelenggu rakyat, siapa itu penegak keadilan atau perampas hak-hak rakyat? Kita harus berani mengatakan "cukup", dan tidak boleh lagi adanya pertumpahan darah di negeri yang sedang damai ini. Awas, jangan sampai terjadi lagi adanya pertempuran yang tidak seimbang di negeri ini, dan jangan biarkan terulang lagi adanya monumen kebohongan di negeri yang kita cinta ini...!

Banten, 14 Desember 2008
Read More......

Mengorbankan rakyat adalah "energi" bagi penerus Orde Baru

Oleh Hafis Azhari*

Bila kita mencermati jejak-langkah Bung Karno, serta gagasan pemikirannya tentang "demokrasi terpimpin", maka kita dapat menangkap adanya konsep politik universal yang melampaui sejarah politik Indonesia, bahkan melampaui pemikiran-pemikiran cerdas dari kalangan intelektual manapun.

Sepak-terjang pemikiran revolusioner dari Bung Karno, menelusuri proses penemuan jati-diri manusia, seperti halnya ia sering memberi amanat bahwa hakekat manusia Indonesia adalah "pemimpin" atau "khalifah" di muka bumi, yang harus bertanggungjawab kepada apa-apa yang dipimpinnya. Dan pemimpin yang sifat hakekatnya putih akan beranak putih; pemimpin yang sifat hakekatnya abu-abu akan beranak abu-abu; bergitupun pemimpin yang sifat hakekatnya hitam akan beranak hitam. Karenanya setiap pemimpin harus betul-betul sadar bahwa ia adalah "pencipta" yang memberi induksi kepada kesadaran dan peradaban rakyatnya, sedangkan pihak yang dipimpin hanyalah "peniru" yang meneladani jejak-langkah sang pemimpinnya.

Angkatan muda Indonesia harus pintar menyerap gagasan-gagasan Bung Karno terutama tentang konsep kepemimpinan dunia yang diungkap di berbagai kesempatan, yakni suatu konsep yang nampak berbeda dengan corak kepemimpinan demokratis yang selama ini digembar-gemborkan, yang mestinya berfungsi selaku pendidik yang menanamkan kebaikan, namun yang berjalan justru memanfaatkan kebodohan dan ketidaksadaran rakyatnya agar leluasa melenggang melestarikan kekuasaannya. Bagi politik kekuasaan semacam ini, tak mungkin ditemukan solusi apapun bagi kesejahteraan rakyat, namun justru merasa dirugikan apabila rakyatnya jadi cerdas dan melek politik, melek budaya dan ekonomi, yang dinilainya sebagai ancaman yang mengusik kursi kekuasaan yang dianggap keramat dan abadi itu.

Konsep dasar politik kekuasaan yang masih berlaku di negeri ini sangat bertolak-belakang dengan konsep yang digagas para founding fathers yang dengan tulus berjuang memberdayakan potensi-potensi manusia Indonesia, tanpa pandang bulu. Bung Karno tak bosan-bosan mengingatkan agar rakyat Indonesia jangan kejangkitan denkfout, kephobian atau kepanikan pada perbedaan-perbedaan golongan, suku-bangsa, agama dan aliran kepercayaan apapun. Sedangkan yang diperjuangkan para politisi dan penguasa (yang mewarisi Orde Baru) justru melestarikan kephobian dan ketakutan massa, bahkan menganggap dirinya akan tetap jaya dengan mengumbar seribu teror dan ketakutan kepada segenap rakyatnya. Loyalitas yang dibangun bukanlah atas dasar ketulusan tanpa pamrih untuk mendewasakan rakyat, namun hanya berdasarkan ketaatan yang berat-sebelah serta dipaksakan kepada pihak yang dianggap bawahannya.

Itulah yang menyebabkan masyarakat dunia selalu terbelenggu dan terbodohi oleh obsesi dan ambisi para penguasa yang sibuk menyangkal dan mendramatisir masalah, tanpa sungguh-sungguh mau belajar untuk memahami kekeliruan dan kekurangan dirinya, hingga setiap kritik dan pesan yang disampaikan, selalu dihadapi dengan prasangka-prasangka buruk yang mengundang anarki dan represif dengan mengatasnamakan stabilitas negara. Padahal tugas yang hakiki dari seorang pemimpin adalah membangkitkan dan memberdayakan potensi-potensi seluruh rakyatnya, lantas bagaimana fungsi kepemimpinan itu ketika memandang rakyat sebagai ancaman yang mencurigakan, dan bukan sebagai anak-didik yang harus dirangkul dan diperlakukan secara baik dan adil?

Dalam kaitan ini seorang budayawan Y.B. Mangunwijaya pernah menyatakan bahwa konsep kekuasaan tak pernah mengenal istilah "ketulusan" dan "keikhlasan". Dan selama bangsa kita tidak berpijak pada jejak-langkah founding fathers maka sulit untuk menyadari siapa yang harus berkorban bagi siapa? Apakah layak seorang pemimpin menuntut hak-haknya atas rakyat, selama ia belum memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin jujur yang layak diteladani oleh rakyatnya? Apakah seorang pemimpin sanggup berkorban dengan mangatakan "cukup", lantas rela mendistribusikan amal dan energinya demi kemaslahatan rakyat-banyak?

Hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian serius bagi pemikiran Bung Karno, suatu impian dan cita-cita luhur bagi sorga Indonesia yang dihuni oleh penduduk-penduduk berbakat dan berkualitas yang berjuang saling mencerdaskan dan mendewasakan, ketimbang mengumbar fitnah dan propaganda kosong, tanpa disertai tiang dan pondasi yang kelak meruntuhkan dirinya sendiri.

Karena itu sedikit bicara baik dan benar, akan sangat bermanfaat daripada sejuta omongan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Begitupun dalam memahami konteks Gearakan 30 September 1965, Bung Karno sejak pagi-dini tak mau terjebak di wilayah prasangka dan hypothesis belaka, namun tekun menelusuri sinthesis untuk menemukan benang-benang merah dari substansi persoalan yang sesungguhnya.

Demikianlah Bung Karno bapak bangsa kita. Ia mendambakan kemandirian rakyat yang lebih memahami kualitas daripada kuantitas, memahami hal-hal prinsipil yang harus menjadi prioritas, daripada menghabiskan waktu dan energi untuk mengurusi soal-soal remeh dan sepele semata. Sedangkan pemimpin yang terus-menerus bersemangat membodohi dan mengelabui rakyatnya, sebetulnya tak lebih dari seorang pecundang yang akan mengusik kebebesan berpikir, serta merecoki pemekaran kedewasaan rakyatnya sendiri.

Karenanya ia pun pernah berpendapat bahwa asas kekuasaan dunia yang selama berabad-abad mempunyai prinsip "menang-kalah", kini harus dirubah pada prinsip-prinsip yang berasas pada soal baik atau jahat, benar atau salah atau keliru.

Dengan demikian akan mudah ditemukan garis pemisah dalam sejarah republik kita: siapakah pahlawan yang menanamkan benih-benih kebaikan dan keindahan, atau siapakah pecundang yang mewariskan ketakutan, kebencian dan kerusakan di mana-mana?

Dalam buku "100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum)" Joesoef Isak telah menorehkan garis besar bahwa pergelutan keindonesiaan kita akan terus-menerus mengalami problem kemanusiaan yang universal, yakni tarik-menarik antara kepentingan demokrasi liberal ataukah bentuk demokrasi yang terarah dan terpimpin? Karena itu sosok kepemimpinan Bung Karno (dengan segala kekurangannya) tetaplah menjadi prioritas cermin dan teladan yang mengungguli semua tokoh Indonesia manapun.

"Bung Karno adalah intelektual dan pejuang revolusioner yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya demi keselamatan bangsanya," demikian tandasnya.

Hingga kita pun teringat pada pernyataan sahabat dekatnya Pramoedya Ananta Toer, yang suatu kali menegaskan pada saya (sebelum wafatnya): "Tidak ada alasan bagi siapapun untuk menilai Bung Karno sebagai diktator. Tapi justru dialah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern yang berhasil menyatukan negeri dan nasionnya tanpa meneteskan darah!" Kemudian Joesoef lebih melengkapi dan membandingkannya dengan Soeharto dan Orde Barunya yang tega membantai dan menjebloskan ke penjara jutaan warganegaranya sendiri, hingga Indonesia merasa kehilangan manusia-manusia berbakat dan berpotensi bagi pondasi-pondasi pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab, yang akibatnya telah kita rasakan bersama.

Mari kita menghargai dan menghormati bapak-bapak bangsa yang berhak mendapat kehormatan, yang telah mengilhami kebenaran sebagai kebenaran, dan telah membuka pintu-pintu gerbang bagi fajar pencerahan Indonesia di masa yang akan datang.

Bung Karno telah memberi teladan bagi kita semua bahwa persoalan "kebaikan" bukanlah monopoli bagi orang kapitalis atau komunis, kanan-kiri, Kristen-Islam, Jawa-Sunda atau militer-sipil, tapi merupakan hak bagi sang penanam kebaikan yang pasti akan terkenang dalam sejarah (dengan sendirinya). Karena toh pada akhirnya seorang manusia tak mungkin menyiasati dirinya sendiri agar tercatat dalam sejarah....

Banten, 13 Desember 2008
*Ketua Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia (K2PSI)
Read More......