Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Kamis, 03 September 2009

IN MEMORIAM JOSOEF ISHAK: Dia itu Sukarnois Dalam Ucapan dan Tindakan

Kolom IBRAHIM ISA
Kamis, 20 Agustus 2009
——————————-
IN MEMORIAM JOSOEF ISHAK:
Dia itu Sukarnois Dalam Ucapan dan Tindakan
(2)
Tulisan untuk ´MENGENANGKAN SAHABATKU TERCINTA, JOESOEF ISAK, Bg 2, dimulai dengan sedikit cerita bagaimana pengenalanku terhadap Ucup – sapaan akrab. Ternyata beliau ini adalah seorang Sukarnois. Sulit dicari samanya. Tadinya banyak orang, termasuk penulis ini, mengira Joesoef adalah seorang PSI. Rosihan Anwar yang ´dekat sekali´ dengan PSI, meskipun tidak terang-terangan mau menyatakannya, juga punya pendapat seperti itu.
Nyatanya Joesoef Isak bukanlah orang PSI. Meskipun habitatnya – meminjam istilah Rosihan – adalah PSI.. Joesoef Isak sendiri dalam wawancaranya dengan wartawan Belanda, de Volkskrant, untuk Jakarta, Michel Maas,menyatakan, bahwa orang umumnya menyangka Joesoef Isak itu orang PSI. Orang tambah terkejut karena Joesoef mengatakan kepada Michel Maas bahwa orang-orang PSI itu adalah ´salon-sosialis´. Tetapi Joesoef Isak juga menyatakan bahwa dia bukan anggota PKI. Tidak mudah jadi anggota PKI, kata Joesoef.
Joesoef Isak memang benar adalah seorang Sukarnois tulen! Antara lain bisa dibaca dalam perdebatannya di s.k. De Volkskrant, dengan Rudy Kausebroek, wartawan kawakan Belanda. Mereka berkonfrontasi dalam perdebatan mengenai pelbagai topik. Tetapi yang paling seru adalah mengenai Bung Karno, bagaimana sikap Bung Karno ketika periode pendudukan Jepang, dan mengenai Demokrasi Terpimpin konsep Bung Karno. Rudy Kousebroek yang melancarkan serangan. Joesoef yang membela Bung Karno dan konsepnya..
Memang dimana saja Joesoef menulis berkaitan dengan Bung Karno, maka Joesoef akan tampil dengan argumentasinya yang keras dan beralasan membela Bung Karno, sejarahnya, visinya dan misinya. Dari tulisan-tulisan Joesoef mengenai Bung Karno dan konsepsinya, orang akan tiba pada kesimpulan, bahwa Joesoef Isak benar-benar memahami, menguasai dan membela ide-ide dan ajaran Bung Karno.
* * *
Aku selamanya menganggap cukup mengenal Bung Karno sebagai konseptor, inspirator dan aktivis ulung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ternyata pengenalan dan pemahamanku itu, tidak semendalam apa yang difahami dan dihayati oleh Joesoef Isak. Harus kuakui, bahwa sesudah lebih dekat dengan Joesoef Isak, pemahaman dan pengenalanku terhadap ajaran-ajaran Bung Karno bertambah. Baik dalam keluasannya maupun kedalamannya.
Joesoef Isak, bukan dalam omongannya saja seorang SUKARNOIS.Tetapi terutama dalam tindakan dan tulisan-tulisannya. Justru pandangan Sukarnois ini yang membikin Joesoef Isak, bisa berdialog dengan siapa saja, yang beda pandangan dengan dia. Joesoef juga memahami langgam Bung Karno berkomunikasi dengan orang lain yang punya pandangan lain.
Kalau dikemukakan di sini, bahwa tak ada kujumpai orang lain yang begitu gairah dan yakin mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, yang begitu mengkhayati aj
Aku kenal sejak dulu, seorang tokoh dan pemimpin politik, salah seorang intelektual dan budayawan Indonesia. Dia itu Komunis, — Nyoto, namanya. Beliaulah yang beberapa kali menjadi ´gostwriter´nya Presiden Sukarno. Yang menyiapkan pidato-pidato Presiden untuk peringatan hari 17 Agustus. Ada juga lainnya yang mengajukan konsep pidato 17 Agustus kepada Presiden Sukanro. Tetapi Sukarno memilih konsep yang dibuat Nyoto. Sehingga, dari satu jurusan tertentu, ada yang mengkomentari bahwa Nyoto itu, lebih Sukarnois dari Sukarno sendiri. Yang tambah menarik ialah bahwa ´Sukarnois´ Nyoto itu, — juga dekat dengan Sukarnois Joesoef Isak. Tidak kebetulan bahwa ketika Nyoto dikejar-kejar aparat sesudah G30S, dengan tuduhan terlibat – tanpa bukti dan tanpa diadili – tempat Nyoto bermalam adalah di rumah Joesoef Isak. Suatu risisko besar sekali bagi Joesoef Isak menjadikan rumahnya tempat Nyoto menyelamatkan diri. Aku fikir, yang membuat mereka dekat satu sama lainnya, ialah kesamaan pandangan Joesoef dan Nyoto mengenai Bung Karno dan ajaran-ajarannya. Makanya bisa dimengerti mengapa Tempo yang mempersiapkan penerbitan mengenai Nyoto, mengundang Joesoef Isak pada tanggal 14 Agustus malam yang lalu, berdiskusi bersama lainnya yang dianggap sedikit banyak kenal siapa Nyoto.
* * *
Sesuai dengan ajaran Bung Karno, Joesoef selalu menekankan, mutlak perlunya dibangun pesatuan bangsa Indonesia. Bukan sebarang persatuan, tetapi suatu PERSATUAN YANG PROGRESIF REVOLUSIONER. Inilah satu-satunya jalan menyelamatkan bangsa dan Republik Indonesia. Jalan menuju keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu ketika Subadio Sastrosatomo, embahnya PSI, sesudah meninggalnya Sutan Sjahrir, menyatakan perlunya para pendukung Bung Karno, pendukung Bung Syahrir dan pendukung Bung Hatta bersatu demi menyelamatkan tanah air dan bangsa, pernyataan ini segera disambut oleh Joesoef Isak. Ia aktif pula mensosialisasikan ide tsb.
Dimana saja Joesoef Isak sempat bicara dengan kaum muda, ia selalu mengajukan ide tentang perlunya belajar dari sejarah bangsa. Joesoef setiap kali mengulang-ulang kata-kata Bung Karno — SEKALI-KALI JANGAN MELUPAKAN SEJARAH BANGSA.
* * *
Ketika mengajukan ide-idenya berkenaan dengan SERATUS TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL, Joesoef mengajukan kepadaku a.l. Sbb.
´Apakah moral dan message paling inti dan paling hakekat dari peristiwa Kebangkitan Nasionlal 100 tahuh yang lalu itu???
This is it : PERSATUAN NASIONAL ! ! Karena Persatuan Nasional kita merdeka, karena Persatuan Nasional kita Kuat dan Mandiri, karena Persatuan Nasional amburadul negeri terimbas amburadul, akibatnya negeri serba tergantung, rakyat sengsara, cuma segelintir elit yang tetap senang.
Kata Joesoef — Setelah menjalani100 Tahun, sudah waktunya bikin satu moment-opname tentang situasi dan kondisi Indonesia hari ini. Dengan berat dan sedih inilah kesimpulannya : Indonesia dengan bumi kaya-raya melimpah-ruah, memiliki rakyat yang sangat miskin di dunia; dan rakyat yang miskin ini memiliki paling banyak elit yang milyuner dollar. Opo ora sedih setelah 100 tahun bangkit dan 60 tahun lebih merdeka?
Seperti diamanatkan Bung Karno, sejarah jangan sekali-kali dilupakan. Sejarah harus dikuasai dan dipelajari betul bukan hanya untuk bernostalgi pada prestasi masa lalu, akan tetapi terpenting justru untuk menarik pelajaran guna dengan lebih baik lagi menangani dan memasuki masa-depan.
Sejarah memiliki kandungan moral, bagaimana secara benar dan tepat memaknainya???
Sejarah menuntut dari kita semua, kesediaan dan kemampuan untuk self-koreksi, mawas-diri. Meaning? Semua pihak, semua institusi birokrasi, orpol, ormas, perorangan, tanpa kecuali, mau dan berani membedah dan membenahi diri untuk tidak mengulangi, untuk mencegah semua bentuk kebodohan dan kesalahan yang mubasir di masa lalu ! ! ! Kemubasiran yang telah dan
masih terus harus dibayar dengan peringkat kemajuan negeri yang terpuruk dan rakyat yang berkelanjutan hidup miskin sampai hari ini.
Apa kandungan amanat yang built-in dalam manifestasi Kebangkitan Nasional. Ini : menegakkan kemerdekaan, kesejahteraan adil-makmur dan kemandirian dengan agenda permanen berlawan terhadap kekuatan yang menghambat dan mau mentiadakan kemerdekaan dan kemandirian tersebut – di mana, kapan dan oleh siapa pun. Tragis sekali kalau ada segmen masyarakat — karena ketidak-matangan dan ignorance politik, malah membantu dan berjalan seiring-sejalan dengan kekuatan yang agendanya justru menggerogoti kemerdekaan, kemandirian dan
What to do, how and where to begin now?
Kita sudah cukupan menikmati demokrasi, tetapi defisit sekali nasionalisme. Demokrasi mutlak diperlukan, tetapi hanya demokrasi yang berisi nasionalisme modern yang cinta tanah-air, cinta rakyat — dengan sendirinya watak nasionalisme yang selalu mementingkan rakyat di atas segala-galanyanya, jijik pada korupsi, konsiten menolak ketergantungan dalam segala bentuk. Untuk itu perlu dimulai dengan membenahi kerangka-berpikir (mind-set) rancu yang digendong-gendong selama ini.
Diperlukan mind-set revolusioner yang membangun nasionalisme modern, membangun kebiasaan (habit) cinta rakyat, habit memelihara persatuan yang positif, benar dan produktif bagi rakyat dan negeri, bukan persatuan asal persatuan sekalipun dengan unsur-unsur negatif yang justru
meredusir kemerdekaan dan kemandirian.
Demikian Joesoef Isak dalam salah satu pesannya kepadaku untuk MEMPERINGATI SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL
* * *
Siapa menduga bahwa hal-hal yang dikemukakan diatas — adalah ide yang muncul dari Joesoef Isak?
Cobalah analisis teliti, semua yang dikatakan Joesoef Isak itu, – – – konsepsionil, seratus persen adalah SUKARNOISME yang ditrapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dewasa ini!
*) Ibrahim Isa adalah publisis. Sekretaris The Wertheim Foundation, Amsterdam


Read More......

Sebuah Obituari


Max Lane

HARI Senin kemarin adalah Hari Kemerdekaan, peringatan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta dan dimulainya empat tahun perjuangan jutaan rakyat Indonesia untuk menjaga agar tentara kolonial Belanda tidak lagi memasuki tanah yang telah mereka obrak-abrik selama 350 tahun. “Merdeka atau mati!” adalah sorak sorai yang membahana di hari itu. Dan kematian banyak orang memang terjadi, terbunuh oleh peluru yang dibuncahkan tentara Belanda.

“Lebih baik di neraka daripada hidup di bawah penjajahan kembali!” adalah slogan yang tertulis di berbagai bus dan angkutan di Batavia.

Merdeka. Berarti kebebasan, adalah kemenangan tertinggi bagi rakyat Indonesia: kebebasan dari aturan kolonial. Tetapi ini bukanlah akhir dari perjuangan kebebasan dalam artinya yang paling utuh.

Dua hari sebelum Hari Kemerdekaan kemarin, satu dari pejuang kebebasan yang paling signifikan, Joesoef Isak, meninggal dunia di rumahnya pada usianya yang ke 81. Beliau amat dikenal sebagai sosok, yang bersama almarhum Hasyim Rachman, melawan Soeharto sang diktator dan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang telah dilarang publikasinya di bawah komando pemerintahan Orde Baru. Dia barangkali adalah satu-satunya orang yang dibebaskan di tahun 1978, setelah 10 tahun dipenjarakan tanpa diadili, dan kemudian kembali berada di balik jeruji besi karena pembangkangannya terhadap Soeharto atas pembelaannya terhadap Pramoedya dan karya-karyanya. Ia berkali-kali menerbitkan, lalu dipanggil dan diinterogasi, dan kemudian kembali menerbitkan karya-karya yang dilarang tersebut.

Bisa jadi, tanpa keberanian dan kegigihan Joesoef dan Hasyim, buku Tetralogi Buru Pramoedya yang dimulai dengan Bumi Manusia, tak akan diterbitkan setelah kejatuhan Soeharto. Bayangkan saja itu. Buku-buku itu adalah novel terbesar Indonesia, dan, meskipun sekarang masih dilarang, karya-karya itu adalah novel-novel Indonesia yang serius yang paling banyak terjual. Jika Joesoef dan Hasyim dan Pramoedya tidak melawan Soeharto dan buku-buku itu tidak keluar dan menciptakan kegemparan saat itu, barangkali mustahil kita melihat terbitan dalam versi bahasa Inggris. Atau barangkali hanya diterbitkan dalam versi sangat mahal terbitan beberapa universitas, dengan ribuan catatan kaki yang tak bisa diakses oleh pembaca umum. Yang terjadi, Bumi Manusia dicetak oleh Penguin dalam versi paperback dan telah menginjak cetak ulangnya yang ke 23.

Setelah Soeharto turun tahta, Joesoef meneruskan usaha penerbitan Hasta Mitra, mengeluarkan buku-buku sejarah dan politik Indonesia yang dianggap tabu dan mencoba mengembalikan sejarah orang-orang ke dalam negara. Hasta Mitra, atas usaha Joesoef dan asisten satu-satunya, Bowo, menerbitkan lebih dari 80 judul: memoar, sejarah, koleksi lengkap dokumen internal CIA berkaitan dengan gerakan 30 September 65, dan versi Indonesia pertama atas Kapital-nya Karl Marx. Dia menulis banyak esai dan komentar yang dipublikasikan dalam buku-buku. Joesoef mendapatkan penghargaan atas keberaniannya dalam melakukan publikasi dari PEN USA, dan PEN Australia, juga memenangkan penghargaan bergengsi Belanda, Wertheim Award. Masih belum cukup, ia lalu dianugerahi Legion of Honor dari Prancis.

Melalui kerja yang ia lakukan tersebut, ia berdiri untuk sesuatu yang masih tergolong tak gampang ditemui: Dia seseorang yang blak-blakan dan tegas dalam mendukung demokrasi dan kemerdekaan yang sejati. Dia sering menulis dan sering mengatakan bahwa Indonesia tak akan pernah berjalan ke depan, saat pikiran para rakyat dan intelektualnya masih terperangkap dalam dunia yang palsu, dimana ketabuan ideologi mengunci mereka ke dalam kesalahpahaman dan kemudian membuat mereka menjadi anti demokrasi.

“Jika anda mau menyerang sosialisme dan komunisme, lakukanlah. Jika anda ingin berargumentasi melawan ide-ide ini, atau menghina atau berkampanye menentang itu semua, anda punya hak untuk melakukannya. Tapi bagaimana kebebasan dan pemikiran akan maju kalau masyarakatnya saja sudah berpikir enggak apa-apa membunuh orang hanya karena dia seorang komunis dan kiri, atau memenjarakan atau melarang mereka, atau memukul dan menyiksa mereka?” Joesoef sering melontarkan pandangan ini pada saya, bukan karena dia sendiri seorang kiri, namun karena ia seorang demokrat. Tentu saja dia tahu bagaimana rasanya represi yang mengungkung. Ia sendiri kehilangan kebebasannya selama 10 tahun di penjara, dimulai dari tahun 1968. Tanpa proses pengadilan. Sebagian dari kawan-kawan baiknya dibunuh pada tahun 1965.

Namun, menurut saya, pandangannya itu benar. Negara hanya dengan satu kondisi: bebas atau tidak. Ini akan menjadi sebuah ujian di masa depan untuk melihat siapa, dan berapa banyak orang, akan berbicara lantang untuk kebebasan. Selama lebih dari satu dekade dimana Pramoedya dan 15 ribu lainnya dipenjarakan, secara virtual tak ada satupun dari “kawan-kawan” intelektual atau aktivis politik yang menyerukan kebebasan mereka dari penjara. Tak ada yang berteriak atas terbunuhnya 500 ribu orang secara ilegal. Ide-ide kiri secara resmi masih dilarang. Sepanjang yang saya ketahui, pelarangan tulisan-tulisan Pramoedya belum secara resmi dihapuskan. Bahkan tulisan-tulisan Sukarno pun bernasib sama. Adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin untuk menemukan pidato-pidatonya yang terakhir dalam sebuah buku kontemporer.

“Merdeka!” Pak Joesoef.***

Max Lane adalah penulis buku, “Indonesia, Bangsa yang Belum Selesai,” Reform Institut, 2007

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian thejakartaglobe, 17 Agustus 2009, dengan judul asli: Joesoef Was Right. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sari SaFitri Mohan.


Read More......