Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Minggu, 21 Desember 2008

Benar, Salah dan Keliru

Oleh: Hafis Azhari
(disunting dari buku 100 Tahun Bung Karno, Penerbit: Hasta Mitra)


Suara azan bergema: "Allahu Akbar!"
Namun kerumunan itu masih saja melempar rumah sambil berteriak,
"Allahu Akbar!"
Dua orang berseragam terus memberi komando.
Aku sendiri bingung harus berbuat apa, bicara apa,
Cuma dua kata yang kemudian keluar dari mulutku:
"Allahu Akbar..."
Rumah itu lantas dibakar habis hingga api berkobar-kobar
Suaranya bermeratak bersatu-padu
Dengan sayup-sayup suara azan di kejauhan sana
Juga teriakan 'Allahu Akbar' bersatu-padu
dengan panggilan untuk mengingat Tuhan Sang Pengasih,
Tak lama kemudian, sesosok tubuh berpakaian kumal tercabik-cabik serta
kulit-kulit terkelupas.
Muncul dari rumah yang sudah hangus berantakan,
Pada kerumunan itu ia mentap tajam penuh makna
Ia tak berkata-kata hingga jatuh tergeletak
Hanya "Allahu Akbar" itu saja yang aku dengar sebelum ajalnya,
Tetapi masih saja aku bingung harus berbuat apa
Dan siapa pula yang bisa memastikan:
"Allahu Akbar" mana yang benar
"Allahu Akbar" mana yang salah
dan "Allahu Akbar" mana yang keliru? Read More......

Minggu, 14 Desember 2008

Menyatukan Indigo bagi Indonesia

“Menurut sejarah, kabarnya Pancasila disusun oleh seorang anak Indigo yaitu Mpu Prapanca yang menulis Nagarakartagama.” Itulah yang dipercaya KH Amiruddin Syah dari Institut Kajian Tasawuf Az Zukhruf, Jakarta.

Dalam magnum opus abad 14 karya pendeta sekaligus jurnalis Kerajaan Majapahit itu tertulis Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian disempurnakan oleh Mpu Tantular.

Bhinneka Tunggal Ika kemudian dipahami sebagai budaya yang berbeda-beda namun tujuannya adalah satu dan agama yang berbeda juga bertujuan satu yakni Allah dan Kehidupan yang baik.

Namun generasi atau anak Indigo? Apaan sih?


Generasi Indigo, menurut Ketua Umum Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) Rossini Larasati, diyakini sebagai orang yang memiliki kemampuan kecerdasan spritual sejak lahir yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Kemampuan orang atau anak Indigo, menurut Rossini, tidak hanya terletak pada rata-rata IQ-nya, tetapi juga karena generasi ini memiliki indera keenam, yang menjadikan kelompok ini istimewa.

Kenapa istimewa karena menurut Amiruddin Syah, ciri tambahan dari anak indigo adalah memiliki energi yang berlebih dan sensor spektrum penglihatan di atas rata-rata anak normal.

Indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh.

Posisi cakra indigo ada di kening atau di tengah cakra leher berwarna biru dan cakra puncak kepala yang berwarna ungu. Cakra biru adalah spektrum bagi penalaran atau berpikir. Sementara nila yang memiliki panjang gelombang di atas biru merupakan cakra spiritual.

Karena memiliki cakra indigo, bisa dipastikan anak-anak indigo adalah sosok yang cerdas, kreatif dan umumnya memiliki kemampuan spiritual tinggi sehingga mereka kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu.

Beberapa mampu melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa yang biasa disebut kemampuan extra-sensory perception (ESP) alias indra keenam.

Maksudnya? Hollywood menceritakan kisah anak indigo dalam The Sixth Sense ada juga yang berbau superhero seperti Hellboy. Sementara di layar kaca, Anda tentu akrab dengan serial The X-Files dengan pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny.

Ketempelan jin

Bagaimana Indonesia? Jelas banyak. Sayang kisah luar biasa indigo justru cenderung dibumbui pandangan klenik. Akibatnya banyak orangtua di Indonesia yang malah salah duga dan salah mendidik.

Orang tua di Indonesia justru ketakutan dan membawa anak indigo mereka kepada paranormal untuk dijampi-jampi. Maklum anak indigo kerap berperilaku abnormal.

Misalnya bertepuk tangan sendirian atau ngobrol sendiri sembari “mojok” dalam ruangan. Suatu tindakan yang cenderung membuat orangtua berpikir anaknya ketempelan jin.

Pada sisi lain ada pula indigo yang menampilkan kecerdasan spiritualitas mereka melalui ucapan atau tindakan cerdas dan bijaksana pada usia yang relatif muda yang setara atau bahkan melebih orang dewasa seperti kemampuan banyak bahasa.

“Karena tidak terpahami, komunitas indigo mendapat tentangan dari masyarakat yang tidak memahami indigo,” ujar Rossini yang juga menjadi konsultan dari generasi indigo.

Sedangkan Amiruddin Syah yang memimpin Institut Tasawuf lebih memberikan pendekatan tasawuf terkait dengan spiritualitas adalah mencari Allah dengan peralatan atau sarana yang telah Allah berikan kepada manusia.

Institut Tasawuf selain mengarahkan anak indigo juga mendidik orangtua yang memiliki anak indigo agar kemampuan anak indigo tak luntur.

Melihat potensi yang besar ini Rossini Larasati bersama beberapa orang tua yang peduli pada anak-anak indigo membentuk Komunitas dan Pusat Studi Indigo Indonesia (KPSII) akhir pekan lalu dengan mengambil gelaran puncak Sarasehan Kebudayaan Indigo untuk Indonesia.

Tujuannya agar individu pemilik kecerdasan spritual super tersebut bisa memberikan manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia.

“Jika kemampuan komunitas indigo ini dapat diakomodir dan dikembangkan dengan baik tentu akan memberi manfaat yang baik bagi negara, bangsa dan budaya Indonesia,” ujarnya.

Maklum karena ketidaktahuan atau pemahaman indigo, masyarakat ataupun orangtua dari anak indigo sering memandang anak indigo sebagai anak yang membutuhkan pendampingan khusus.

Pemahaman bisa terjadi atau berkembang jika komunitas indigo yang terbentuk bisa membantu generasi indigo untuk tumbuh berkembang sesuai dengan pola-pola pendidikan yang seharusnya diterima.

Dengan adanya lembaga KPSII, spiritualitas bangsa Indonesia bisa terbangun dengan peran serta dari kelompok indigo yang memang sejak lahir memiliki kepekaan spiritualitas yang tinggi.

Uniknya karena sejak awal mengurus hal-hal kemampuan kasat mata dan tak terukur secara kualitatif sejak awal KPSII cenderung bergerak sebagai kelompok diskusi, konseling atau pendampingan bagi indigo muda dan orangtua yang anaknya terlahir sebagai indigo dan sekaligus penyebaran informasi dan konsultasi.

Namun andai pemerintah tanggap, seharusnya ada perhatian lebih pada generasi indigo karena memiliki kemampuan menjadi agen perubahan sosial.

Pasalnya menurut ramalan, komunitas ini akan memadati Jawa dan diperkirakan untuk dua tahun ke depan bakal terkumpul 5797 powerful indigo. Artinya dua tahun lagi akan ada perubahan penting yang menggegerkan Indonesia.
Read More......

Sabtu, 13 Desember 2008

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari

Wawancara dengan Bung Hafis Azhari
Oleh Laura Irawaty
(Sekjen Gema Nusa Propinsi Banten)

Beberapa waktu lalu saya bersama Astuti dari Majalah Tiras (lokal) berhasil mewawancarai Hafis Azhari di kediamannya di Kampung Jerang Hilir pedalaman Kota Cilegon, khususnya mengenai penerbitan novel "Petunjuk dari Lubang Buaya (PDLB)" di media intenet. Berikut ini hasil wawancara kami, setelah mengedit beberapa bagian yang tak mungkin dimuat sepenuhnya, tapi kami berupaya untuk tidak mengurangi hal-hal substantif yang harus diungkap di sini. Selamat membaca.


Laura    : Sebetulnya bagaimana asal-muasalnya hingga novel Bung bisa beredar luas dan dibaca banyak orang di internet itu? Apakah betul bahwa hal itu di luar pengetahuan Bung Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, siapa bilang? Saya tahu kok. Waktu Bung Thorik (Muhammad Thorik, ed) bolak-balik ke rumah saya setelah membaca naskah itu, lantas menawarkan untuk membuatkan blog khusus hingga novel itu terpublikasi, semuanya dengan seizin saya, meski ada bagian-bagian yang belum termuat, dan masih berproses hingga saat ini.
Laura    : Jadi Bung sendiri yang menahan sebagian naskah itu hingga belum sepenuhnya termuat?
Hafis    : Iya betul.
Astuti    : Bagaimana ceritanya hingga Pak Hafis menulis novel PDLB itu? Apakah betul rumor yang beredar selama ini bahwa naskah itu adalah sejarah hidup Pak Hafis sendiri?
Hafis    : Ah, tidak juga, meski ada bagian-bagian penting yang saya ambil dari pengalaman hidup saya. Tapi seumumnya adalah bagian dari pengalaman hidup bangsa ini, termasuk pengalaman kalian juga, hehe.
Laura    : Bagian mana yang bukan pengalaman hidup Bung?
Hafis    : Saya kan kuliah di UIN Jakarta pada jurusan Teologi dan Filsafat, tapi pada novel itu saya bikin seakan-akan saya gagal masuk Sekolah Tinggai Filsafat Driyarkara. Juga tentang penyerbuan-penyerbu an kantor itu. Saya hanya menghimpun dari kesaksian orang-orang yang terlibat, khususnya para korban, termasuk informasi dari koran-koran yang beredar saat itu. Tapi intinya saya tidak hendak mengungkap kebenaran secara mutlak, tapi saya ingin menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang merupakan substansi dari ilmu sejarah itu sendiri.
Astuti    : Tapi yang disampaikan dalam novel PDLB banyak yang sesuai dengan fakta di lapangan, misalnya kasus Trisakti, penyerbuan kantor PDI-P, kasus LBH Bandung, Romo Sandyawan, Pius Lustrilanang, Wiji Thukul, bahkan kasus-kasus Kedungombo hingga pembunuhan Munir. Apakah Bung sempat mengadakan kros-cek yang intensif dengan tokoh-tokoh yang terlibat di lapangan?
Hafis    : Silakan saja di-kroscek oleh pihak-pihak akademisi atau pihak-pihak yang berkompeten, hingga terjadi harmoni dan kesenyawaan yang menyeluruh, meskipun suatu novel tetap pekerjaan tangan dan pikiran yang tidak (belum) sempurna betul. Semua kita adalah bagian dari proses sekaligus terlibat dalam proses. Dan sejerah itu sendiri adalah kebenaran yang terus berproses, mungkin hingga kiamat.
Laura    : Maksud Bung?
Hafis    : Ya sejarah yang dituliskan itu kan hasil kreasi atau konstruksi memori dan pikiran manusia. Orang yang menggarap dengan kekuatan rasio ilmiah pun, tetap masih mungkin adanya kekurangan dan kekeliruan. Kita manusia hanya bisa berusaha sekuat mungkin.
Astuti    : Kalau konstruksi buatan manusia seperti maksud Bapak, berarti suatu tulisan itu boleh jadi hasil rekaan atau kebohongan?
Hafis    : Bukankah karya sastra itu identik dengan hasil karangan, termasuk karya-karya Pram atau para peraih nobel sekalipun. Sekuat apapun didasari sejarah, masih tetap tergantung dari motivasi pengarangnya. Tapi intinya, kalaupun manusia terpaksa membuat kebohongan, masalahnya kebohongan itu diciptakan untuk menyelamatkan dan mendamaikan manusia, atau justru untuk merusak, membunuh dan memfitnah manusia? Menurut saya, dalam iklim negara yang tidak adil, kesantunan atau kejujuran mutlak itu tidak selamanya baik.
Astuti    : Kabarnya Pak Hafis juga pernah mempublikasikan sejarah hidup korban-korban 65 di internet? Apakah Bapak tidak mempertimbangkan sisi komersilnya?
Hafis    : Saya pernah dibantu oleh sebuah lembaga kebudayaan di Jakarta untuk mengadakan penelitian di Banten, tentang korban-korban Orde Baru. Meskipun riset-riset tentang para korban Orde Baru telah saya lakukan sejak tahun 1995-an. Untuk program itu saya pernah dipertemukan dengan Hersri Setiawan, Goenawan Mohamad, Hermawan Sulistyo, Asvi Marwan Adam, bahkan dengan anak-anak jenderal korban 1965 lalu. Mereka menamakan program itu dengan "Historical Memories di Indonesia".
Laura    : Bagaimana dengan Joesoef Isak yang biografinya Bung publikasikan juga?
Hafis    : Oh, biografi Joesoef Isak itu kan masih draft. Kalau itu, tak ada hubungannya dengan penelitian saya di Banten. Joesoef Isak tinggal di wilayah Duren Tiga Jakarta. Adapun penulisan biografi itu murni atas inisiatif saya dan teman-teman K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia, ed).
Astuti    : Banyak pembaca yang mengungkap adanya kekuatan pikiran, atau kekuatan bahasa dari Pak Hafis dalam penulisan biografi Joesoef itu, seakan-akan naskah itu sudah matang betul. Apakah sebelumnya ada lembaga khusus yang membiayai program itu?
Hafis    : Wah, sampai saat ini belum ada sama sekali. Sampai sekarang naskah itu belum selesai kan? Padahal sudah dibaca ribuan orang. Suatu hari saya pernah dipertemukan dengan seseorang yang datang dari Belanda, yakni seorang mahasiswa yang kuliah di luar negeri sejak tahun-tahun 1960-an, kemudian di bawah rejim Soeharto ia tak bisa pulang ke Indonesia. Beliau membantu sekedarnya atasnama pribadi, bukan lembaga, dan kami mengucap banyak terimakasih. Tapi mengenai naskah biografi itu, di kemudian hari kami sadar betul bahwa program itu adalah program besar yang membutuhkan waktu, energi dan biaya tinggi...
Laura    : Apakah Bung pernah menghubungi lembaga penyandang dana melalui internet?
Hafis    : Dulu pernah ada yang membuatkan pengumuman melalui internet. Tapi saya sendiri jarang buka internet, bahkan nomor password saya sering dipakai teman-teman pengurus K2PSI. Saya cuma mendatangi warnet (warung internet, ed) kalau ada tulisan yang perlu disampaikan ke publik. Di kampung ini belum ada jaringan internet, jadi saya harus pergi ke pusat Kota Cilegon. Kalau perlu diadakan jaringan khusus, mungkin biayanya tinggi, dan kami tak sanggup membayar. Karena itu mohon maaf kalau saya tak pernah komunikasi lewat internet. Tapi kalau nomor handphone, selalu hidup dan tak pernah saya matikan.
Astuti    : Kira-kira pesan apa yang ingin Bapak sampaikan melalui biografi Joesoef Isak itu?
Hafis    : Pada prinsipnya tak jauh beda dengan novel PDLB, juga dengan tulisan-tulisan saya yang lainnya. Saya ingin membedah otak-otak manusia Indonesia agar berpikir, berpandangan, bertutur-kata, bahkan bersikap sebagaimana adanya manusia Indonesia. Karena Orde Baru telah menculik indentitas dan jati-diri kita selama ini, hingga kebanyakan kita tumbuh secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dan saya sudah menyiapkan beberapa novel lagi tentang peristiwa 1965 itu. Saat ini dua novel saya sudah ada di tangan sebuah penerbit di Jakarta.
Astuti    : Bagaimana kalau ada penerbit di Banten ini yang meminta tulisan-tulisan Bapak? Dan bagaimana Bapak sendiri memandang tentang dunia penerbitan akhir-akhir ini?
Hafis    : Dunia penerbitan baik-baik saja, meskipun kita perlu punya pengertian tersendiri tentang industri penerbitan. Di Jaman Orde Baru, dunia penerbitan itu termasuk bisnis kapitalisme yang bergerak secara sepihak. Jadi bagian dari konstruksi buatan orang-orang yang mendukung rejim militer juga, bahkan masih diwariskan hingga hari ini. Siapa berhak menerbitkan dan diterbitkan, dan apa motoivasi si penulis hingga mengajukan sesuatu untuk diterbitkan?
Laura    : Lantas, siapa yang berani menerbitkan novel PDLB, atau karya-karya Bung yang lainnya?
Hafis    : Pada waktunya akan tampil juga ke permukaan. Segala sesuatu ada musimnya tersendiri. Tapi oke, sekarang saya ingin sampaikan ke publik bahwa naskah biografi Joesoef Isak yang pernah saya beri judul "Wartawan Pembela Bung Karno" pernah ditolak beberapa waktu lalu oleh Penerbit Gramedia (P.T. Gramedia Pustaka Utama, ed) yang ditandatangani oleh seorang manager bernama Siti Gretiani. Dan surat penolakannya masih ada di tangan saya sekarang.
Astuti    : Juga naskah PDLB?
Hafis    : Kalau PDLB selengkapnya sudah ada di tangan penerbit di Jakarta. Beberapa tahun lalu draft naskah PDLB pernah dibaca oleh Pramoedya (sebelum wafat), sampai-sampai ia mempertemukan saya dengan penerbit di Utan Kayu. Tapi sekarang naskah lengkapnya sudah ada yang pegang.
Laura    : Kabarnya teman-teman Joesoef Isak yang di luar negeri ikut menghadiri acara "Liber Amicorum Joesoef Isak" di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Apakah Bung juga menyumbangkan tulisan seperti yang pernah Bung sumbangkan untuk Liber Amicorum Bung Karno dulu?
Hafis    : Saya diminta menyumbang tulisan oleh Bung Bonnie Triyana selaku penyelenggara. Dalam beberapa hari langsung saya kirimkan tulisan itu. Saya senang sekali mendapat kepercayaan untuk menyumbang tulisan tentang Joesoef Isak itu.
Astuti    : Saat ini program apa yang sedang Bapak jalankan bersama K2PSI?
Hafis    : Saat ini kadang-kadang kami harus menyelesaikan satu sampai tiga program kegiatan. Namun diperlukan adanya prioritas terpenting untuk diselesaikan. Karena sering terbentur soal dana, bila ada kegiatan ABC terpaksa kami dahulukan program yang ada dananya, biarpun di posisi C atau B. Inilah yang menjadi kendala kami, sering terbentur soal skala prioritas. Padahal di jaman kebangkitan Indonesia sejak 1908, 1928 hingga 1945, persoalan logistik dalam perjuangan itu adalah persoalan yang harus diperhitungkan secara serius.
Laura    : Sekarang apa visi Bung Hafis dan kawan-kawan untuk gerakan-gerakan K2PSI ke depan?
Hafis    : K2PSI akan terus melangkah maju ke depan. Pada prinsipnya organisasi ini bergerak di bidang perumusan sejarah Indonesia. Selama ini kami baru sanggup mengadakan studi ilmiah dan penelitian tentang sejarah Indonesia, lantas mempublikasikan melalui media massa, radio hingga internet. Dengan segala keterbatasan dana dan biaya, kami akan terus melangkah maju, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat kami akan menggarap sekenario dan film tentang sejarah hidup para sahabat Bung Karno, para mantan tapol dan refuji yang ada di luar negeri.
Astuti    : Kira-kira apa pesan utama yang ingin Bapak sampaikan dalam karya-karya Bapak selama ini?
Hafis    : Kami ingin mengabarkan pada segenap rakyat Indonesia bahwa perjalanan hidup kita selama ini telah keliru dan menyimpang. Kita hidup di tanah air Indonesia, tapi kita telah dibutakan untuk memahami identitas keindonesiaan kita. Selama ini kita telah berbuat, bergerak bahkan berjuang secara menyimpang dan tidak manusiawi. Dalam bahasa yang sederhana, bangsa ini mestinya cerdas dan makmur, karena bumi Indonesia telah dipenuhi syarat-syarat untuk menjadi cerdas dan makmur, tapi kenapa bangsa ini justru bekembang ke arah kemerosotan dan pendangkalan? Semua itu tidak diajarakan oleh pendahulu dan founding fathers kita. Lantas ada pola hidup dan gerakan apa selama tahun ini, hingga nasib bangsa bisa menjadi seperti ini? Siapa yang bertanggungjawab dalam membuat rencana dan agenda, hingga hari ini bisa menjadi lebih buruk dari hari kemarin? Lantas apakah hari esok akan kita biarkan juga menjadi lebih buruk dari hari ini? Kami ingin menegaskan kata "cukup", mulai sekarang kita katakan "cukup", dan kita kembali meneladani dan meneruskan jejak-langkah para pendahulu kita...
Laura    : Itukah yang sering Bung maksudkan dengan peradaban baru Indonesia?
Hafis    : Kalau saya sering mengungkap peradaban baru Indonesia di radio atau forum-forum diskusi, sebetulnya hanya soal kembali saja kepada jejak-langkah founding fathers kita. Kembali ke asas kita sebagai manusia Indonesia yang medeka dan berdaulat, kembali meneladani para pendahulu kita. Jangan sampai kita membenci dan memusuhi orang yang benar yang selama ini dipropagandakan Orde Baru, lantas kita dipaksa-paksa untuk mencintai orang yang salah. Karena itu peradaban yang tidak normal namanya. Sekarang kita jangan mudah terpengaruh oleh hasutan dan fitnah. Hormatilah orang yang layak mendapat kehormatan. Awas, jangan sampai terulang lagi, kita menjadi salah alamat dalam menghormati orang. Kita harus bedakan siapa itu Musa atau Firaun, siapa itu Alexander Agung atau Jenghis Khan, siapa itu Bung Karno atau Soeharto, siapa itu pembebas atau penjajah dan agresor, siapa itu pembangkit rakyat atau pembelenggu rakyat, siapa itu penegak keadilan atau perampas hak-hak rakyat? Kita harus berani mengatakan "cukup", dan tidak boleh lagi adanya pertumpahan darah di negeri yang sedang damai ini. Awas, jangan sampai terjadi lagi adanya pertempuran yang tidak seimbang di negeri ini, dan jangan biarkan terulang lagi adanya monumen kebohongan di negeri yang kita cinta ini...!

Banten, 14 Desember 2008
Read More......

Mengorbankan rakyat adalah "energi" bagi penerus Orde Baru

Oleh Hafis Azhari*

Bila kita mencermati jejak-langkah Bung Karno, serta gagasan pemikirannya tentang "demokrasi terpimpin", maka kita dapat menangkap adanya konsep politik universal yang melampaui sejarah politik Indonesia, bahkan melampaui pemikiran-pemikiran cerdas dari kalangan intelektual manapun.

Sepak-terjang pemikiran revolusioner dari Bung Karno, menelusuri proses penemuan jati-diri manusia, seperti halnya ia sering memberi amanat bahwa hakekat manusia Indonesia adalah "pemimpin" atau "khalifah" di muka bumi, yang harus bertanggungjawab kepada apa-apa yang dipimpinnya. Dan pemimpin yang sifat hakekatnya putih akan beranak putih; pemimpin yang sifat hakekatnya abu-abu akan beranak abu-abu; bergitupun pemimpin yang sifat hakekatnya hitam akan beranak hitam. Karenanya setiap pemimpin harus betul-betul sadar bahwa ia adalah "pencipta" yang memberi induksi kepada kesadaran dan peradaban rakyatnya, sedangkan pihak yang dipimpin hanyalah "peniru" yang meneladani jejak-langkah sang pemimpinnya.

Angkatan muda Indonesia harus pintar menyerap gagasan-gagasan Bung Karno terutama tentang konsep kepemimpinan dunia yang diungkap di berbagai kesempatan, yakni suatu konsep yang nampak berbeda dengan corak kepemimpinan demokratis yang selama ini digembar-gemborkan, yang mestinya berfungsi selaku pendidik yang menanamkan kebaikan, namun yang berjalan justru memanfaatkan kebodohan dan ketidaksadaran rakyatnya agar leluasa melenggang melestarikan kekuasaannya. Bagi politik kekuasaan semacam ini, tak mungkin ditemukan solusi apapun bagi kesejahteraan rakyat, namun justru merasa dirugikan apabila rakyatnya jadi cerdas dan melek politik, melek budaya dan ekonomi, yang dinilainya sebagai ancaman yang mengusik kursi kekuasaan yang dianggap keramat dan abadi itu.

Konsep dasar politik kekuasaan yang masih berlaku di negeri ini sangat bertolak-belakang dengan konsep yang digagas para founding fathers yang dengan tulus berjuang memberdayakan potensi-potensi manusia Indonesia, tanpa pandang bulu. Bung Karno tak bosan-bosan mengingatkan agar rakyat Indonesia jangan kejangkitan denkfout, kephobian atau kepanikan pada perbedaan-perbedaan golongan, suku-bangsa, agama dan aliran kepercayaan apapun. Sedangkan yang diperjuangkan para politisi dan penguasa (yang mewarisi Orde Baru) justru melestarikan kephobian dan ketakutan massa, bahkan menganggap dirinya akan tetap jaya dengan mengumbar seribu teror dan ketakutan kepada segenap rakyatnya. Loyalitas yang dibangun bukanlah atas dasar ketulusan tanpa pamrih untuk mendewasakan rakyat, namun hanya berdasarkan ketaatan yang berat-sebelah serta dipaksakan kepada pihak yang dianggap bawahannya.

Itulah yang menyebabkan masyarakat dunia selalu terbelenggu dan terbodohi oleh obsesi dan ambisi para penguasa yang sibuk menyangkal dan mendramatisir masalah, tanpa sungguh-sungguh mau belajar untuk memahami kekeliruan dan kekurangan dirinya, hingga setiap kritik dan pesan yang disampaikan, selalu dihadapi dengan prasangka-prasangka buruk yang mengundang anarki dan represif dengan mengatasnamakan stabilitas negara. Padahal tugas yang hakiki dari seorang pemimpin adalah membangkitkan dan memberdayakan potensi-potensi seluruh rakyatnya, lantas bagaimana fungsi kepemimpinan itu ketika memandang rakyat sebagai ancaman yang mencurigakan, dan bukan sebagai anak-didik yang harus dirangkul dan diperlakukan secara baik dan adil?

Dalam kaitan ini seorang budayawan Y.B. Mangunwijaya pernah menyatakan bahwa konsep kekuasaan tak pernah mengenal istilah "ketulusan" dan "keikhlasan". Dan selama bangsa kita tidak berpijak pada jejak-langkah founding fathers maka sulit untuk menyadari siapa yang harus berkorban bagi siapa? Apakah layak seorang pemimpin menuntut hak-haknya atas rakyat, selama ia belum memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin jujur yang layak diteladani oleh rakyatnya? Apakah seorang pemimpin sanggup berkorban dengan mangatakan "cukup", lantas rela mendistribusikan amal dan energinya demi kemaslahatan rakyat-banyak?

Hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian serius bagi pemikiran Bung Karno, suatu impian dan cita-cita luhur bagi sorga Indonesia yang dihuni oleh penduduk-penduduk berbakat dan berkualitas yang berjuang saling mencerdaskan dan mendewasakan, ketimbang mengumbar fitnah dan propaganda kosong, tanpa disertai tiang dan pondasi yang kelak meruntuhkan dirinya sendiri.

Karena itu sedikit bicara baik dan benar, akan sangat bermanfaat daripada sejuta omongan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Begitupun dalam memahami konteks Gearakan 30 September 1965, Bung Karno sejak pagi-dini tak mau terjebak di wilayah prasangka dan hypothesis belaka, namun tekun menelusuri sinthesis untuk menemukan benang-benang merah dari substansi persoalan yang sesungguhnya.

Demikianlah Bung Karno bapak bangsa kita. Ia mendambakan kemandirian rakyat yang lebih memahami kualitas daripada kuantitas, memahami hal-hal prinsipil yang harus menjadi prioritas, daripada menghabiskan waktu dan energi untuk mengurusi soal-soal remeh dan sepele semata. Sedangkan pemimpin yang terus-menerus bersemangat membodohi dan mengelabui rakyatnya, sebetulnya tak lebih dari seorang pecundang yang akan mengusik kebebesan berpikir, serta merecoki pemekaran kedewasaan rakyatnya sendiri.

Karenanya ia pun pernah berpendapat bahwa asas kekuasaan dunia yang selama berabad-abad mempunyai prinsip "menang-kalah", kini harus dirubah pada prinsip-prinsip yang berasas pada soal baik atau jahat, benar atau salah atau keliru.

Dengan demikian akan mudah ditemukan garis pemisah dalam sejarah republik kita: siapakah pahlawan yang menanamkan benih-benih kebaikan dan keindahan, atau siapakah pecundang yang mewariskan ketakutan, kebencian dan kerusakan di mana-mana?

Dalam buku "100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum)" Joesoef Isak telah menorehkan garis besar bahwa pergelutan keindonesiaan kita akan terus-menerus mengalami problem kemanusiaan yang universal, yakni tarik-menarik antara kepentingan demokrasi liberal ataukah bentuk demokrasi yang terarah dan terpimpin? Karena itu sosok kepemimpinan Bung Karno (dengan segala kekurangannya) tetaplah menjadi prioritas cermin dan teladan yang mengungguli semua tokoh Indonesia manapun.

"Bung Karno adalah intelektual dan pejuang revolusioner yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya demi keselamatan bangsanya," demikian tandasnya.

Hingga kita pun teringat pada pernyataan sahabat dekatnya Pramoedya Ananta Toer, yang suatu kali menegaskan pada saya (sebelum wafatnya): "Tidak ada alasan bagi siapapun untuk menilai Bung Karno sebagai diktator. Tapi justru dialah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern yang berhasil menyatukan negeri dan nasionnya tanpa meneteskan darah!" Kemudian Joesoef lebih melengkapi dan membandingkannya dengan Soeharto dan Orde Barunya yang tega membantai dan menjebloskan ke penjara jutaan warganegaranya sendiri, hingga Indonesia merasa kehilangan manusia-manusia berbakat dan berpotensi bagi pondasi-pondasi pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab, yang akibatnya telah kita rasakan bersama.

Mari kita menghargai dan menghormati bapak-bapak bangsa yang berhak mendapat kehormatan, yang telah mengilhami kebenaran sebagai kebenaran, dan telah membuka pintu-pintu gerbang bagi fajar pencerahan Indonesia di masa yang akan datang.

Bung Karno telah memberi teladan bagi kita semua bahwa persoalan "kebaikan" bukanlah monopoli bagi orang kapitalis atau komunis, kanan-kiri, Kristen-Islam, Jawa-Sunda atau militer-sipil, tapi merupakan hak bagi sang penanam kebaikan yang pasti akan terkenang dalam sejarah (dengan sendirinya). Karena toh pada akhirnya seorang manusia tak mungkin menyiasati dirinya sendiri agar tercatat dalam sejarah....

Banten, 13 Desember 2008
*Ketua Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia (K2PSI)
Read More......

Rabu, 26 November 2008

Memberdayakan potensi manusia Indonesia secara manusiawi

Ada pernyataan menarik yang diungkap sejarawan muda Indonesia, Asvi
Warman Adam di seputar 17 Agustus 2007 kemarin, khususnya mengenai
"Surat Wasiat Bung Karno", bahwa bila terjadi hal-hal yang menghalangi
dirinya dalam memimpin perjuangan (tahun 1945), maka kepemimpinan
Indonesia diserahkan kepada Saudara Tan Malaka. Pada beberapa acara
televisi Asvi menyatakan bahwa nama Tan Malaka kemudian menghilang dan
dihapus oleh Orde Baru, justru agar generasi muda tidak bisa mengenal
kebesaran beliau. Kepercayaan Bung Karno itu, oleh Tan Malaka dianggap
sebagai sikap yang menghargai dirinya, namun tidak terbetik dalam
pikirannya untuk mengambil-alih kekuasaan, karena ia merasa bersyukur
atas kejayaan Indonesia di bawah panji-panji kepemimpinan
Soekarno-Hatta.

Konon beberapa sejarawan Barat telah menuding Tan Malaka yang dinilai "senang pamer" mengenai Surat Wasiat terebut,seakan-akan dapat berfungsi sebagai "rekomendasi" (seperti supersemar)yang kelak dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan. Padahal Surat Wasiat itu adalah keniscayaan sejarah revolusi kita (saat itu), mengingat
sulitnya posisi Indonesia dalam mengikuti berbagai pengambilan
keputusan secara konstitusional, sampai kemudian Hatta pun tak
keberatan dengan pewaris tunggal yang ditunjuk Bung Karno tersebut.
Namun akhirnya, Surat Wasiat itu hanya menjadi bahan perbincangan dalam
sejarah kita, mengingat perjalanan republik tak pernah dihadapkan pada
situasi yang memungkinkan wasiat itu dapat terlaksana. Dan Tan Malaka
pun (saya pikir) cukup berjiwa besar untuk menerima kenyataan itu apa
adanya. Adapun perbincangan itu terus bergulir, hingga kalangan
intelektual muda banyak bertanya-tanya: "Kenapa yang diberi wasiat
tidak tampil, tapi malah seorang jenderal tiba-tiba muncul dengan
Supersemar yang masih disembunyikan dokumen aslinya?" Pertanyaan
sederhana kemudian muncul lagi: "Kenapa nama Tan Malaka dihapus dalam
sejarah Indonesia, padahal andilnya cukup besar dalam perjuangan
kemerdekaan kita?" Barangkali jawabannya simpel saja: karena Tan Malaka
seorang muslim yang cerdas, dan (meskipun berhaluan kiri) ia cukup
memahami budaya dan karakter manusia Indonesia secara integral. Dan
seperti kesaksian yang disampaikan Sajoeti Melik pada tahun 1972-an
(Liber Amicorum Bung Karno, hlm. 228), bahwa: "Saya mengenal Tan Malaka
sebagai orang yang tidak percaya pada tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam pergaulan sehari-hari, ia berusaha menjaga kemurnian jiwanya.
Bicaranya terus-terang, dan jika tidak memungkinkan, lebih baik ia
memilih diam. Ia tak suka berbohong apalagi memfitnah. Ia berani
menjalani hidup dalam kesendirian, siap berkorban, dan tidak
mengutamakan ambisi-ambisi pribadi..."
Read More......

Solusinya terletak pada kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya

Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan rakyatnya berkembang secara
liberal, bebas dan tak terkendali. Ia punya tanggungjawab moral untuk
mengarahkan rakyatnya kepada jalan hidup yang lebih baik dan benar.
Selama ia tak sanggup untuk introspeksi-diri, tak jujur dan bersikap
mendua, maka akhirnya ia pun harus berjiwa besar mengikhlaskan dirinya
untuk tidak dihargai dan dihormati rakyatnya.

Dengan demikian ia tak punya "energi" untuk memerintah atau menjalankan sistem presidentil,hingga ujung-ujungnya hanya membiarkan saja sistem demokrasi liberal
berjalan, sampai pada titik menyerah atau turun dari jabatannya. Di
sini kita tidak membahas soal NKRI, Federal atau Ortonomi, tetapi
sistem pemerintahan yang berjalan dari zaman ke zaman, yang terumuskan
dalam istilah "khilafah", "demokrasi terpimpin" atau "apa saja", bahwa
selama pemimpin itu tak punya kemauan-keras untuk merubah dirinya untuk
bisa merubah rakyatnya, niscaya ia akan sampai pada titik kediktatoran
atau ketidaksabaran menghadapi keadaan rakyatnya yang berragam etnik
budaya dan peradaban, sampai ia pun keliru dalam menentukan
"korban-korbannya". Dengan demikian, selama ia tetap bersikeras
mempertahankan kekuasaannya, keangkuhannya, maka ia pun akan menghadapi
pengulangan dan pengulangan yang sama, hingga ia termasuk dalam
kategori "munafik" yang disinyalir dalam Al-Quran.
Read More......

Rabu, 19 November 2008

Demokrasi terpimpin adalah Keniscayaan

Disunting Oleh: Muhamad Thorik

Puncak dari segala puncak perpolitikan Indonesia terjadi pada saat menggelindingnya isu demokrasi terpimpin. Dekrit 5 Juli 1959 adalah titik awal di mana Indonesia memberanikan diri melakukan petualangan politik serta ikhtiar bagi pencarian jatidiri suatu bangsa yang baru merdeka dan berdaulat.

Kepungan negara-negara imperialis serta mengerasnya raja-raja kapital dalam membangun kekuatan status quo, membuat bung Karno tak bergeming untuk bereksprementasi menciptakan Indonesia baru bahkan mengumandangkan tata dunia baru ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sudah dipertimbangkan sejak mula-mula bahwa demokrasi-barat yang sedang berjalan, setelah 50 persen tambah satu anggota parlemen mengambil keputusan, jutaan rakyat tertindas tidak begitu saja puas dan senang menerima nasib yang sudah diputuskan secara demokratis di dewan perwakilan tersebut.

Hal ini bukan lantas Bung Karno identik dengan anti Barat. Sama sekali tidak. Ia cukup tegas mengakui sumbangan pencerahan para pemikir Barat bagi kemerdekaan nasional serta hak individu dan hak-hak asasi manusia.

Bung Karno adalah pemimpin yang sangat jeli dalam mempertimbangkan segala perbandingan, terutama setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di seluruh dunia bahwa rakyat tertindak yang ingin memperbaiki nasibnya pada akhirnya selalu berada di pihak yang kalah. Sedangkan kaum pemodal (kapitalisme) selalu saja memang dan berhasil dalam memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan baginya.

Kenyataan tersebut membuat Bung Karno sampai pada kesimpulan bahwa dengan menggalang persatuan dan kesatuan nasional maka rakyat-rakyat tertindak dapat memenangkan “pertarungan” hingga dapat memperoleh kesempatan untuk memperbaiki nasibnya.

Dari sini bisa kita lihat bahwa kesatuan dan persatuan yang dicita-citakan bung Karno bukanlah suatu megalomania untuk mencapai kejayaan ‘Indonesia Raya’ tetapi memang prasyarat dan bagian dari konsep demokrasinya bung Karno demi penegakan demokrasi itu sendiri, terutama untuk memberdayakan segenap rakyat dalam membangun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya.

Bila kita bicara tentang demokrasinya Bung Karno maka kita sudah masuk pada persoalan “demokrasi terpimpin”yang dianggap tabu dan angker, khususnya oleh mereka-mereka yang tidak mengerti – dan tidak mau mengerti – apa dan bagaimana demokrasi terpimpin itu bisa muncul dan berkumandang di bumi Indonesia.

Para penulis barat pada umumnya hanyalah melakukan analisis bagi pembenaran hypothesa belaka, yang dipandang dari sudut kebaratannya. Padahal demokrasi terpimpin jelas berbeda, karena merupakan ikhtiar terobosan serta pergelutan menemukan synthesa dari iklim demokrasi barat yang sudah berabad-abad lamanya.
Read More......

Selasa, 18 November 2008

Mencermati Founding Fathers RI

Disunting oleh: Muhamad Thorik

Bagi Bung Karno jelas bahwa musuh-musuh utama yang dihadapi bangsa Indonesia bukanlah kawan-kawan sebangsa atau setanah air sendiri. Musuh utama tersebut adalah perjuangan keras serta ambisi-ambisi keserakahan dari unsur status quo neokolonialisme dan imperialisme yang tidak pernah mau mengalah apalagi menyerah.

Unsur nekolim itu dengan gencar memainkan segala siasat dan tipu muslihat untuk memecah-belah para pejuang kita, terutama juga persaudaraan di kalangan intelektual RI. Bagi mereka persatuan-kesatuan banga berkembang akan mengancam peranan mereka dalam melancarkan operasi-operasinya di bidang ekonomi, demi kemakmuran mereka serta klik kepentingan ekonomi bagi suatu nasion tertentu.

Sadar tak sadar, para intelektual kita sungguh telah tersusupi oleh usaha-usaha dari kepanjangan tangan politik divide et impera tersebut. Selama puluhan tahun mereka direcoki oleh perdebatan-perdebatan sengit tak berguna serta memakan waktu dan energi yang serba mubasir dan sia-sia.

Gejala negatif yang mencemaskan pada kaum intelektual kita, adalah bahwa mereka menelan mentah-mentah dan memamah-biak pendapat para pakar asing yang dijadikan rujukan, dan akhirnya mengkerangkeng daya kemandirian berpikir mereka sendiri.

Di antara Soekarno-Hatta-Syahrir dan Soebadio, Amir Syarifudin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka, Moh. Roem dan lain-lain. Adalah para founding father yang mempunyai bakat, kemampuan dan fitrahnya masing-masing. Mereka memang berbeda, tetapi persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi itulah yang menjadi potensi dan asset nasional kita yang sangat berharga, suatu modal besar untuk membangun dan menempuh masa depan Indonesia yang lebih baik.
Read More......

Senin, 17 November 2008

Pemikiran Joesoef Isak (II)

Diawali dari Keteladanan Soekarno

Oleh: Hafis Azhari


Pada dasarnya setiap manusia hidup adalah terpimpin, yang kemudian terus berkembang untuk bersiap-siap menjadi pemimpin. Sejak lahir manusia diasuh, dibina, diberi pelajaran dan pengetahuan tentang hidup, tentang bagaimana menjalai proses kehidupan yang baik. Setiap masukan yang diberikan dalam pikiran dan benaknya, selayaknya adalah pelajaran tentang bagaimana ia menghadaipi dirinya, sesamanya, lingkungan dan dunianya, yang kemudian ia bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran kepada sesamanya pula.

Manusia yang terlahir lebih dulu, selayaknya bertanggungjawab untuk mendidik yang terlahir kemudian, yang tua bagi yang muda, dan singkatnya yang berpengetahuan kepada yang belum (tak) berpengetahuan.

Semua pendidikan itu berporos pada upaya-upaya untuk mencari jatidirinya sebagai manusia. Suatu upaya hidup yang berkemanusiaan dan bermoral. Supaya manusia dapat hidup secara lebih manusiawi. Karena itulah maka seorang pemimpin bertanggungjawab mengjarkan moralitas kepada orang-orang yang dipimpinya, yaitu kepada rakyatnya.

Dalam kaitan ini Joesoef Isak menegaskan:

Bung Karno adalah pemimpin dan guru saya sekaligus. Pidato-pidatonya sangat memukau sejak usia saya belasan tahun. Berkat dialah masa muda saya begitu bergairah dan bersemangat untuk berjuang melawan penjajahan. Dan sebagai anak remaja pada mulanya saya hanya ikut-ikutan berjuang, yang kemudian bung Karno pun tak bosan-bosan mengajari orang-orang seusia kami mengenai makna perjuangan.

Semangat perjuangan itu terus tertanam dalam dirinya. Di usia belasan tahun ia telah beberapa kali bergabung dalam dunia pergerakan, hingga ketika pendudukan Jepang (1942 -1945) ia berusaha melawan dengan hanya bersenjatakan ketapel dan bambu runcing.

Rumah kami persis di sebelah tahanan sekutu (kini Gedung Kebangkitan Nasional). Karena itu keluarga saya selalu mengalami pengejaran oleh serdadu-serdadu NICA, Jepang, hingga terus menerus mengungsi dari satu tempat ke tempat lain.

Pidato-pidato Bung Karno yang disiarkan melalui gelombang-gelombang radio di seluruh penjuru negeri, semakin mengobarkan semangat dan bara api perjuanganya. Sebagai anak muda Joesoef bersikeras mengisi masa-masa mudanya dengan sesuatu yang bermakna bagi perjuangan. Baginya perjuangan tidaklah sebatas berperang atau bertempur mengangkat senjata. Setiap saat dalam fitrah kehidupan manusia haruslah diisi dengan perjuangan, karena hidup itu sendiri adalah perjuangan. Ia berusaha memanifestasikan makna perjuangan itu dalam bentuk karya nyata, perbuatan, yang bukan bersenjatakan meriam ataupun bedil tetapi dengan pena.
Read More......

Sabtu, 15 November 2008

Pemikiran Joesoef Isak

Mengkonfrontasikan Pemikiran tentang Bung Karno

Oleh : Hafis Azhari

Tokoh Bung Karno adalah puncak segala-galanya bagi Indonesia, dari persoalan keindonesiaan sampai gambaran budaya dan peradaban manusia Indonesia. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa figure Soekarno – meski bukan satu-satunya – adalah tokoh sentral untuk memahami dan mendalami sejarah Indonesia. Bahkan tidaklah keliru bila dikatakan bahwa sejarah hidup Bung Karno adalah patokan untuk mengukur tingkat budaya dan peradaban Indonesia, di mana moralitas dan pertanggungjawaban manusia pertaruhkan.

Dalam perjalanan karirnya sebagai wartawan Joeoef Isak mengaku banyak mengalami tahapan di mana ia merasa pernah jatuh-bangun dalam menilai dan memahami Bung Karno.
"Hal ini cukup wajar, karena hidup seorang individu adalah suatu proses berkelanjutan yang tak pernah berhenti. Sebagai anak muda boleh dibilang saya pernah mengalami periode "meraba-raba", terutama dalam upaya membanding-banding hingga memahami apa dan siapa itu Bung Karno".

Sewaktu bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) Joesoef pernah meninggalkan Bung Karno, terutama ketika mengalami masa-masa "peruncingan" dalam perpolitikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan Bung Karno dinilainya sebagai banyak melakukan tindakan-tindakan politik yang berani dan gegabah, hingga – dalam usia muda sepantarannya – membutuhkan jeda waktu untuk meraba-raba dan menilai secara utuh dan menyeluruh.
Barulah setelah pembertonkan PRRI/ Permesta serta kepiawaian Bung Karno dalam mengatasi pemberontakan tersebut Joesoef kembali memihak Bung Karno secara bulat bersama dengan segala kebijakan-kebijakan politiknya.
Sebagai orang PSI Joesoef mengaku telah banyak belajar dari Soebadio Sastrosatomo (di samping Bung Karno), terutama tentang keteguhan dan kegigihannya dalam mengidealisasi kesatuan Indonesia. Soebadio cukup banyak mengilhaminya dalam proses pencarian jatidiri sebagai individu, yang merupakan bagian integral dari kesatuan suatu nasion.
Sebagai seorang pengagum Syahrir, Soebadio pernah menandaskan bahwa dirinya adalah bagian dari perjuangan bapak bangsa Soekarno. "Soekarno adalah presidenku. Soekarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno." Waktu Jenderal Soeharto masih dalam kuasa-kuasanya, kepada Joesoef dan kawan-kawan ia memperingatkan supaya menghentikan setiap pelecehan yang dialamatkan kepada Soekarno, juga kepada Hatta-Syahrir, untuk kemudian membangkitkan strategi persetuan Soekarno-Hatta-Syahrir dalam melawan fasisme Soeharto.
Ketika Soebadio menyatakan kekagumannya pada Bung Karno, tidak setitik pun pada dirinya untuk bermaksud mengecilkan apalagi meninggalkan Hatta-Syahrir.
Maka apapun yang kita bicarakan mengenai kebesaran para perintis pendiri Republik Indonesia, Bung Karno-lah tokoh sentral dari segala-galanya. Bahkan menurut Joesoef Isak:
Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa kehidupan Bung Karno sekaligus merupakan patokan untuk mengukur moralitas kita sebagai bangsa.
Hal itulah yang dirasakan dan dialami Joesoef hingga segala polemic yang pernah dialaminya bahkan yang "menjebaknya" sebagai tahanan politik Order Baru, tak lain merupakan suatu pendapat dan konfrontasi mengenai figur Bung Karno itu sendiri.
Setiap polemik di awal tahun 1960-an, yang membuatnya tergeser secara berturut-turut dari Pemred Merdeka, kemudian berkelanjutan adanya kasak-kusuk untuk menggulingkan dirinya dari Sekjen PWAA serta keanggotaannya di PWI, adalah bagian dari sikap dan pendiriannya dalam mengkonfrontasikan bahkan mengidolakan bapak bangsa kita.
Waktu itu cukup sengit tarik-menarik antara siapa memihak siapa. Siapa pendukung siapa. Dan sebagai pribadi yang konsekuen memihak Bung Karno setelah peristiwa PRRI/Permesta, pada mulanya saya tidak sempat mengamati adanya klik dan konspirasi yang dialamatkan kepada diri saya.
Berkaitan dengan ini Joeseof Isak memaparkan adanya berita yang disampaikan Hiswara Dharmaputera, terutama tentang suatu pertemuan di Makassar yang memfokuskan dirinya sebagai "sasaran tembak", mengingat dirinya bukanlah sembarang orang dalam dunia pers dan jurnalistik Indonesia, bahkan bagi Asia-Afrika.
Karena menilai diri saya sebagai orang penting, rupanya mereka harus merancang berbagai strategi untuk "secara halus" menggulingkan kedudukan saya. Sementara saya tetap bekerja untuk membantu pemerintah, terutama ikut serta menyokong dalam proses revolusi yang diamanatkan Bung Karno. Saya tidak punya konspirasi apa-apa untuk tujuan-tujuan yang tidak baik dan tidak benar.
Dan segala pertimbangan yang difokuskan untuk mempersalahkan Joesoef, rupanya berkelanjutan hingga tahun-tahun setelah peristiwa G30S. Rezim Soeharto dan Angkatan Darat tidaklah mempersoalkan apakah sasaran penangkapannya adalah seorang anggota PKI, PNI, Masyumi, NU ataukah PSI.
Hingga sampailah pada keputusan bahwa mulai tahun 1968 Joesoef Isak dinyatakan "sah konstitusional" sebagai tahanan politik Orde Baru, dikarenakan satu hal: ia adalah pendukung dan pembela Bung Karno.
Read More......

Kamis, 30 Oktober 2008

Uga Wangsit Siliwangi (sunda)

Carita Pantun Ngahiangna Pajajaran

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!

Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
Read More......

Selasa, 21 Oktober 2008

BERSYUKUR DAN BERJUANG

Action & Wisdom Motivation Training

Alkisah, di beranda belakang sebuah rumah mewah, tampak seorang anak sedang berbincang dengan ayahnya. "Ayah, nenek dulu pernah bercerita kepadaku bahwa kakek dan nenek waktu masih muda sangat miskin, tidak punya uang sehingga tidak bisa terus menyekolahkan ayah. Ayah pun harus bekerja membantu berjualan kue ke pasar-pasar."Apa betul begitu, Yah?" tanya sang anak.

Sang ayah kemudian bertanya, "Memang begitulah keadaannya, Nak. Mengapa kau tanyakan hal itu anakku?"

Si anak menjawab, "Aku membayangkan saja ngeri, Yah. Lantas, apakah Ayah pernah menyesali masa lalu yang serba kekurangan, sekolah rendah dan susah begitu?"

Sambil mengelus sayang putranya, ayah menjawab, "Tidak Nak, ayah tidak pernah menyesalinya dan tidak akan mau menukar dengan apa pun masa lalu itu. Bahkan, ayah mensyukurinya. Karena, kalau tidak ada penderitaan seperti itu, mungkin ayah tidak akan punya semangat untuk belajar dan bekerja, berjuang, dan belajar lagi, hingga bisa berhasil seperti saat ini."

Mendapat jawaban demikian, si anak melanjutkan pertanyaannya, "Kalau begitu, aku tidak mungkin sukses seperti Ayah, dong?"

Heran dengan pemikiran anaknya, sang ayah kembali bertanya, "Kenapa kau berpikir tidak bisa sukses seperti ayah?"

"Lho, kata Ayah tadi, penderitaan masa lalu yang serba susahlah yang membuat Ayah berhasil. Padahal, aku dilahirkan dalam keluarga mampu, kan ayahku orang sukses," ujar si anak sambil menatap bangga ayahnya. "Ayah tidak sekolah tinggi, sedangkan Ayah menyuruhku kalau bisa sekolah sampai S2 dan menguasai 3 bahasa, Inggris, Mandarin, dan IT. Kalau aku ingin sukses seperti Ayah kan nggak bisa, dong. Kan aku nggak susah seperti Ayah dulu?"

Mengetahui pemikiran sang anak, ayah pun tertawa. "Hahaha, memang kamu mau jadi anak orang miskin dan jualan kue?" canda ayah.

Digoda sang ayah, si anak menjawab, "Yaaaah, kan udah nggak bisa memilih. Tapi kayaknya kalau bisa memilih pun, aku memilih seperti sekarang saja deh. Enak sih, punya papa mama baik dan mampu seperti papa mamaku hehehe."

Sang ayah lantas melanjutkan perkataannya, "Karena itulah, kamu harus bersyukur tidak perlu susah seperti ayah dulu. Yang jelas, siapa orangtua kita dan bagaimana keadaan masa lalu itu, kaya atau miskin, kita tidak bisa memilih, ya kan? Maka, ayah tidak pernah menyesali masa lalu. Malah bersyukur pada masa lalu yang penuh dengan penderitaan, dari sana ayah belajar hanya penderitaan hidup yang dapat mengajarkan pada manusia akan arti keindahan dan nilai kehidupan. Yang jelas, di kehidupan ini ada hukum perubahan yang berlaku. Kita bisa merubah keadaan jika kita mau belajar, berusaha, dan berjuang habis-habisan. Tuhan memberi kita segala kemampuan itu, gunakan sebaik-baiknya. Dimulai dari keadaan kita saat ini, entah miskin atau kaya. Niscaya, semua usaha kita diberkati dan kamu pun bisa sukses melebihi ayah saat ini. Ingat, teruslah berdoa serta berusaha. Belajar dan bekerjalah lebih keras dan giat. Maka, cita-citamu akan tercapai."

Pembaca yang budiman,
Pikiran manusia tidak mungkin mampu menggali dan mengetahui rahasia kebesaran Tuhan. Karena itu, sebagai manusia (puk nen sien cek) kita tidak bisa memilih mau lahir di keluarga kaya atau miskin. Kita juga tak bisa memilih lahir di negara barat atau di timur dan lain sebagainya.

Maka, jika kita lahir di keluarga yang kaya, kita harus mampu mensyukuri dengan hidup penuh semangat dan bersahaja. Sebaliknya, jika kita terlahir di keluarga yang kurang mampu, kita pun harus tetap menyukurinya sambil terus belajar dan berikhtiar lebih keras untuk memperoleh kehidupan lebih baik. Sebab, selama kita bisa bekerja dengan baik benar dan halal, Tuhan pasti akan membantu kita! Ingat, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, tanpa orang itu mau berusaha merubah nasibnya sendiri.

Terus berjuang, raih kesuksesan!
Salam sukses luar biasa!!!
Andrie Wongso
www.andriewongso.com
Read More......

Bahasa Politik Bung Karno dan Jenderal Soeharto

Oleh Hafis Azhari

Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku maupun kaku. Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dengan memanfaatkan permainan-permainan bahasa. Karena itu sudah ribuan tahun mereka saling berdebat, bertengkar bahkan berperang tentang kata-kata dalam sengketa teori-teori politik, tanpa menyadari bahwa di sana ada permainan kata yang berperan dan patut diperhatikan. Para penguasa biasanya memanfaatkan permainan ini dengan menafsir kata-kata menurut seleranya sendiri, hingga perbincangan paling pokok demi mengangkat taraf hidup rakyat banyak, dibuat kabur dan simpang-siur. Akibatnya elite-elite penguasa itu, dari jaman ke jaman, masih saja berkuasa dengan cara-cara sesuka mereka sendiri.

Pernyataan ini saya kutip secara bebas dari pandangan seorang filosof Wina, Ludwig Wittgenstein, terutama tentang masalah “sprachspiel” yang apabila diindonesiakan kira-kira menjadi: utak-atik bahasa. Sebagai manusia Indonesia yang hidup dalam permainan wayang serta ajang tarik-menarik pasca fasisme Soeharto, mestinya cukup peka memahami pemikiran-pemikiran Ludwig di atas. Soeharto dalam sepanjang kekuasaannya hampir tak pernah alpa dengan permainan bahasa ini, yang membuatnya dapat berkuasa dengan menyengsarakan rakyat-banyak selama masa puluhan tahun.

Dengan memaknai dan menafsir kata-kata seenaknya dan sesukanya sendiri, Soeharto cukup berhasil mengelabui dan membohongi rakyat Indonesia, hingga selama puluhan tahun itu ia telah menjadi idola yang dipuja-puja sebagai “bapak pembangunan” – suatu istilah yang diciptakannya sendiri – yang kemudian memutarbalikkan fakta-fakta sesungguhnya mengenai jutaan rakyat yang dikorbankan (secara kias maupun harfiah) akibat pembangunan yang dibanggakannya itu.

Tentu saja seorang pemimpin fasis tidak akan dapat bertahan dalam hitungan bulan ataupun tahun, jika saja tidak lihai dan licik dalam memanfaatkan permainan-permainan bahasa yang gencar disusupkan ke dalam benak rakyatnya.

Sepanjang Kekuasaan Soeharto

Kita masih ingat bagaimana kelihaian Soeharto dan kroni-kroninya ketika bersepakat menggulingkan Bung Karno dari kepemimpinannya. Sejak tahun 1965 telah diluncurkan istilah “Gestapu” untuk menuding pelaku peristiwa G30S. Tujuan politik dari teknik permainan ini cukup jelas, yakni suatu dampak psikologis yang disusupkan ke dalam benak rakyat, agar mereka menyejajarkan peristiwa itu dengan konsep “Gestapo” dari partai Nazi Jerman.

Setiap orang yang mengasah nuraninya akan kepekaan sejarah, mudahlah dimengerti bahwa teknik propaganda ini telah berabad-abad lalu diciptakan manusia, yang biasanya dimanfaatkan oleh sekelompok angkatan perang guna memancing rasa kebencian, mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, membeberkan lambang-lambang mengenai penderitaan manusia, bahkan penyebab dan asal-mula kekejian dan pembantaian, sejak kekuasaan diciptakan sampai kapanpun ia dapat bertahan.

Teknik ini terbilang ampuh hingga sepanjang sejarah terus-menerus dimanfaatkan oleh angkatan perang di seluruh dunia. Dan pada jaman ini, terutama di era Orde Barunya Soeharto – tak dapat disangsikan lagi – terlampau banyak sarana teknologi guna memberitakan kabar maupun isu-isu untuk mengungkap lambang ciptaan itu, hingga dapat membuat bulu-kuduk berdiri kengerian, ataupun membuat wajah tersenyum merekah.

Karena itu tak perlu diherankan mengapa di awal-awal kekuasaannya, Soeharto – selaku kepala Kostrad – mengadakan aksi-aksi terobosan untuk mengambil-alih RRI dan kantor telekomunikasi yang letaknya di jalan Medan Merdeka (seberang kantor Kostrad), kalau saja bukan karena kelihaiannya memanfaatkan sarana teknologi tersebut.

Setelah itu berkelanjutan segala peristilahan negatif diciptakannya secara serentak, dari kata G30S/PKI, Kopkamtib, Museum Lubang Buaya, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) dan lain-lain. Bahkan kata-kata Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), suatu istilah bikinan Belanda untuk menuding Gerakan Bung Karno, dengan tanpa disadari telah diambil-alih oleh pemerintahan Soeharto untuk membungkam segala aktivitas progresif-revolusioner, terutama di kalangan angkatan muda kita.

Segala akronim dan peristilahan yang dibuat-buat itu tentulah bukan tercetus dari orang-orang bodoh yang sama sekali tak punya harapan akan masadepan, namun ia telah keluar dari pikiran dan gagasan jitu (dan jahat) dari seorang ahli strategi, demi suatu agitasi dan propaganda yang sudah dirancang sedemikian canggihnya.

Bahasa Politik Bung Karno

Patut diperhatikan bahwa agitasi propaganda untuk suatu gerakan revolusioner memanglah perlu dan penting. Namun bukan untuk kepentingan sebaliknya (gerakan kontra revolusi). Dengan demikian Bung Karno lebih sepakat dengan ungkapan, “banyak bicara dan banyak bekerja” daripada “sedikit bicara banyak bekerja”, karena setiap pekerjaan mulia dalam menegakkan kebenaran, dibutuhkan bahasa pengungkapan untuk disampaikan ke publik, bahkan sebagai perlawanan dan penggugah kesadaran akan adanya ketidakadilan.

Dengan kepiawaiannya berpidato, serta kecermatan dalam merangkai kata-kata, Bung Karno telah sanggup menggugah kesadaran jutaan rakyatnya, yang membuat mereka tersentak dan bangkit dari keadaan nasibnya sebagai bangsa-bangsa budak dan kuli selama berabad-abad.

Kita masih ingat ketika Bung Karno menawarkan istilah “Gestok” dalam sidang kabinet di bulan Oktober 1965. Secara kesejarahan dapatlah dimengerti bahwa peristiwa itu sudah melewati jam 24.00, yang berarti sudah memasuki tanggal 1 Oktober 1965. Selain itu secara kebahasaan tidaklah kalah pentingnya, karena susunan kata yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia: kata yang diterangkan mendahului kata yang menerangkan. Karenanya bila anakronisme itu hendak dibiarkan, mestinya diucapkan “Tigapuluh September” dan bukan “September Tigapuluh”.

Hal ini dapat disejajarkan dengan istilah-istilah lain seperti komunis-kapitalis, kiri-kanan, GPK, OTB, subversif, sosialis-marxis, HAM, kebebasan dan demokratisasi, yang kesemuanya itu harus sungguh-sungguh diperhatikan dalam konteks apa penggunaan istilah tersebut, dan dari mulut siapa kata-kata itu keluar. Karena itu semakin jelaslah permainan bahasa ini, maka berhati-hatilah bila ada seorang jenderal fasis berkata komunisme-marxisme-leninisme, yang semuanya itu akan berbeda maknanya ketimbang apa-apa yang diucapkan dari mulut Bung Karno sendiri.

Soalnya ungkapan Bung Karno tentang komunisme lebih pantas disejajarkan dengan seorang Guru Besar yang sedang mengajar sosiologi atau filsafat sosial tentang komunisme. Tapi ungkapan Soeharto – biarpun memakai kata-kata yang sama – secara sewenang-wenang dinilainya sebagai gerakan makar dan tindak subversif.

Sebagai contoh sederhana dari permainan kata ini, dalam bahasa Jawa terdapat istilah “padu” yang berarti ribut atau bertengkar-mulut. Sedangkan dalam bahasa Indonesia justru bermakna positif, yakni bersatu-padu atau amat rukun.

Dari berbagai uraian dan contoh-contoh di atas, maka segala pertengkaran dan peperangan manusia selama berabad-abad, sebenarnya bersumber di wilayah permainan bahasa dan kata-kata yang tak pernah punya arti baku maupun kaku. Karenanya juga berpangkal pada teori-teori filsafat dan politik, tanpa disadari bahwa di sana ada permainan kata yang berperan kuat dan patut diperhatikan.

Kita masih ingat pula akronim “Jas Merah” yang dicetuskan langsung oleh Bung Karno, yang berarti “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Sejak pagi-dini dengan kecermatannya berbahasa, ia begitu peka dan tanggap dalam menciptakan suatu peristilahan, yang membawa kita pada bayangan pasukan kemeja merah Garibaldi, seorang pemimpin revolusi liberal di Italia pada tahun 1830-an.

Kasus Pramoedya Ananta Toer

Kini sampailah saya untuk menceritakan sebuah roman menarik yang pernah ditulis oleh seorang bangsa Cina, “The Romance of The Three Kingdoms” sejak tahun 1930-an Masehi. Roman ini berkisah tentang seorang pejabat tinggi dalam suatu kerajaan, telah memerintahkan bawahannya agar membunuh semua anggota keluarga dari rakyatnya, gara-gara ada seorang dari mereka yang dicurigainya. Sewaktu ditanya, kenapa dia begitu tega dan kejam melakukan tindakan brutal itu, maka dijawablah dengan tegas:

“Akan saya khianati seluruh dunia… sebelum ada orang berkesempatan mengkhianati saya….”

Roman ini pernah dilarang di negerinya sendiri pada jaman Dinasti Ching, karena dianggap menghina pejabat-pejabat kekaisaran. Maka segeralah diperintahkan agar diberangus, dibakar, bahkan diupayakan agar habis musnah dari muka bumi ini.

Saat itu, lagi-lagi sang penulisnya – melalui teknik propaganda – dihasut-hasut dan disebarluaskan sebagai pelaku makar yang harus dibungkam dan disingkirkan. Kepada rakyat setempat, nilai kebudayaan didakwakan sebagai barang rongsokan yang tidak ada harganya. Dengan begitu maka peradaban yang berjalan cumalah produk belaka dari bagaimana cara penguasa memandangnya. Segala tindak-tanduk masyarakat menjadi terbelenggu oleh kebijakan-kebijakan yang dipaksakan, hingga struktur berpikir dan pola berbahasa telah diputar-balikkan sedemikian rupa, bahkan untuk menunjukkan siapa kawan dan siapa lawan sekalipun.

Di negeri Indonesia, praktis setelah tahun 1965, teknik propaganda yang sudah usang itu telah dipermaikan kembali oleh seorang jenderal fasis bekas tentara KNIL – juga bekas tentara didikan fasisme Jepang sejak perang dunia kedua. Jenderal bernama Soeharto itu cukup lihai dan cekatan dalam memperagakan teknik ini, hingga – bersama kroni-kroninya – telah mampu bekerjasama dalam permainan “sprachspiel” tentang utak-atik bahasa dan kata-kata tersebut.

Bandingkan dengan Hitler bersama rekan seperjuangannya Dr. Joseph Goebbles, yang cukup jenius merancang teka-teki generasi masadepan, hingga berkesimpulan betapa pentingnya masalah informasi dan dunia pendidikan. Seketika itu dibentuklah Kementerian Propaganda yang tugasnya semata-mata menyeragamkan segala informasi apapun kepada rakyat Jerman. Seluruh dunia pers, penerbitan, radio dan film, harus patuh dan taat kepada pengarahan tentang apa dan bagaimana yang mesti disiarkan. Bahkan seluruh pendidikan bagi anak-anak, pemuda-pemudi, kemudian disatu-paketkan dalam suatu organisasi pemerintah yang praktis merupakan organisasi kader politik bergaya militer.

Semua lembaga serta organisasi apapun yang berjalan kemudian dikontrol oleh aparat-aparat pemerintah yang identik dengan kepentingan satu partai dominan. Segala gaya, mentalitas dan cara-cara kerja kemasyarakatan menjadi militeristik, karena sistem yang berlaku hanyalah komando dari atas dan ketaatan mutlak dari bawah.

Di bidang kebudayaan pun segala pemberangusan dan pembunuhan bagi hak hidup (secara kias maupun harfiah) yang dialami para seniman Lekra dan LKN, sungguh tidak kepalang tanggung. Pembunuhan dan penculikan terhadap seniman nasional Trubus, Japoq Lampong, pengarang lagu Genjer-genjer, belum lagi seniman-seniman daerah yang belum masuk dalam hitungan mereka. Semuanya itu adalah bagian dari kelihaian dan kelicikan Soeharto dan kroni-kroninya, dalam memuluskan jalannya sprachspiel dan permainan bahasa gaya Orde Baru berikut dengan para seniman dan budayawan-budayawan pendukungnya.

Apa yang dialami oleh Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra – cukuplah dinyatakan mengenai perlakuan atas dirinya selama masa puluhan tahun ini. Salah satu rumus yang dipakainya untuk menggambarkan pemerintahan Orde Baru sebagai berikut:

“Kalau mereka mengatakan ‘diamankan’, itu berarti ditangkap atau dianiaya. Kalau mereka mengucap kata X, itu artinya minus-X. Setiap apa-apa yang mereka katakan, selalu saja yang berlaku adalah kebalikannya. Apa boleh buat saya nyatakan hal ini, karena memang pengalaman yang telah mengajarkan saya….”

Konstitusional Versi Soeharto dan Muawiyah

Perkataan “konstitusional” yang sering digembar-gemborkan Soeharto bersama kroni-kroninya telah dimanipulasi bahkan dipraktekkan sebagai kebalikannya. Segala trik-trik dan strategi yang dilancarkan untuk kepentingan menggulingkan Presiden Soekarno, tidak lain merupakan “kudeta merangkak” yang telah mendirikan bulu-roma kita.

Kesamaan pengertian konstitusional ini sangatlah identik dengan Herodes atau Ponsius Pilatus bersama pengikut-pengikutnya, juga erat kaitannya dengan peristiwa arbitrase dalam penggulingan Ali bin Abi Thalib – oleh seorang ahli strategi bernama Muawiyah.

Mengenai penggulingan Ali itu, Bung Karno sendiri pernah mengutip pernyataan Cokroaminoto dalam Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926:

“Setelah Muawiyah mengutamakan azas kekuasaan kebendaan dalam aturan khalifah – sesudah para khalifah menjadi raja – maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. Muawiyah telah bertanggungjawab atas merosotnya tabiat Islam yang nyata-nyata bersifat sosialistis yang baik.”

Konspirasi Muawiyah bersama kroni-kroninya dalam memanfaatkan peristiwa pembunuhan Khalifah Usman, tiada lain guna dijadikan alat pemancing bagi kebencian rakyat awam. Saat itu, dengan memerintahkan seorang kaki-tangannya, segeralah dipertontonkan pakaian Usman yang berlumuran darah di depan mesjid Damaskus. Selama beberapa waktu ia berpura-pura sedih atas kematian Usman, sebagai ungkapan simpati dan duka-cita terhadapnya. Padahal ketika berlangsungnya peristiwa tragis itu, Usman sempat meminta bantuan kepada Muawiyah – selaku Gubernur Damaskus – namun kemudian ia sama sekali tidak menghiraukan atasannya.

Strategi Muawiyah dalam melancarkan “kudeta merangkak” itu kelak dijadikan alat propaganda untuk menuduh Ali, bahkan menyebarkannya sebagai pelaku atas pembunuhan Usman itu. Seketika itu dikerahkanlah tentara-tentara Muawiyah untuk menggempur kedudukan Ali, meski kemudian dapat dipatahkan oleh pengikut-pengikut Ali di sekitar wilayah Siffin.

Seorang kaki-tangan Muawiyah selanjutnya mengusulkan perjanjian damai, sambil mengangkat dan memamerkan Al-Quran sebagai tameng bagi kepatuhan pada agama. Saat itu orang-orang saleh di pihak Ali telah terkibuli dan terkecoh oleh siasat licik itu, hingga salah seorang berujar disertai ketakutan: “Ya Ali, kami tidak sanggup memerangi Al-Quran….”

Orang-orang saleh itu terus-menerus mendesak Ali agar ia menuruti perjanjian damai itu, hingga tercapailah suatu kesepakatan untuk menggelar arbitrase. Dalam arbitrase itu kemudian dilancarkan tipu muslihat dan siasat licik dengan memanipulasi teks-teks agama sebagai alat legitimasi bagi tampilnya kekuasaan baru. Seketika itu dipamerkan simbol-simbol agama untuk menyudutkan posisi Ali sambil meneriakkan yel-yel:

“Tiada hukum selain hukum Allah… tiada hukum selain hukum Allah…!”

Terus-menerus yel-yel itu diteriakkan, meskipun – bagi Ali – hukum Allah itu bukanlah sesuatu yang mandek dan statis belaka. Ia adalah hukum yang sesuai dengan semangat jaman dan tempat di mana dan kapan manusia dapat hidup. Sedangkan orang-orang yang mengaburkan imannya dengan kejahatan, bukanlah termasuk dari apa-apa yang disebut hukum Allah.

“Kamilah pendukung-pendukung Usman… kamilah pendukung-pendukung Usman….!”

Ali semakin paham apa-apa yang sebenarnya terkandung di balik siasat licik itu. Muawiyah bersama kroni-kroninya cukup lihai dalam merangkul rakyat awam, dengan memancing ketakutan dan menebar teror dan pembodohan. “Mereka cukup mahir dalam mempermainkan kata-kata kebenaran untuk tujuan yang tidak benar,” demikian penjelasan Ali kepada para pengikutnya, “seandainya saya punya niat-niat jahat, saya bisa lebih mahir daripada Muawiyah.”

Terlepas dari persoalan, siapakah yang kemudian berdiri di balik pembunuhan Ali pada tahun 661 Masehi, namun yang sudah jelas menjadi kepastian bahwa Muawiyah benar-benar telah mengambil “keuntungan” dengan mengabaikan peristiwa tragis itu, malahan menampilkan dirinya selaku pahlawan dan pemimpin tunggal khalifah “Orde Baru”, sebagai pengganti khalifah-khalifah terdahulu. Hal ini pun pernah ia lakukan saat kematian Usman, yang kemudian – dengan bangga – mengulanginya saat peristiwa tragis yang menimpa diri Ali.

Sebelum wafatnya, dengan ramah dan santun Ali berpesan kepada para pengikutnya: “Jangan terlampau marah dan dendam… tak usah membunuh mereka sesudah saya mati… biarkan saja mereka hidup… toh tidak sama hidup orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, daripada orang yang mencari-cari kesalahan, walaupun telah berhasil diperolehnya….”

Itulah klimaks dari pendidikan religiositas kepada suatu bangsa, seperti yang diajarkan Bung Karno kepada rakyat Indonesia juga, bahwa ada suatu Kekuasaan Absolut yang mengatur segalanya, apakah kita perlu mengadakan perlawanan – secara tergesa-gesa – oleh adanya ketidakadilan yang menimpa diri kita. Karena segala hal dalam hidup ini perlu pembelajaran dan penelitian yang seksama untuk dapat menemukan kebenaran dengan sebaik-baiknya. Dari sini pun mengandung logika dan kebenaran sejarah: seandainya Bung Karno segera mengadakan perlawanan kepada pihak-pihak yang akan menggulingkan dirinya – sebelum tuntasnya penyelidikan tentang G30S – lantas siapa yang bisa memastikan bahwa Bung Karno akan sebesar dan semulia seperti sekarang ini. Siapa yang bisa memastikan bahwa ajaran-ajarannya akan terselamatkan, dan pemikiran-pemikirannya semakin diakui sebagai kebenaran oleh rakyat Indonesia dan seluruh dunia berbudaya dan berperadaban.

Dan dari peristiwa dan perjalanan hidup Ali bin Abi Thalib, maka meluncurlah konsep politik sejati yang kita kenal sekarang: “Bahwa kebenaran yang tidak terrumuskan dan tidak terorganisir dengan baik dan rapi, pada akhirnya akan terkalahkan oleh kejahatan yang mampu mengorganisir dirinya dengan baik.”

Konsep politik itu harus menjadi pelajaran penting, khususnya bagi angkatan muda Indonesia, agar hendaknya kita tahu dan paham apa yang harus kita benahi dalam perjuangan kita, untuk mencapai kebangkitan dan pencerahan Indonesia dengan sebaik-baiknya….


***

(Disunting kembali oleh Indah Noviarista,
dan tulisan ini pernah dimuat dalam buku “Liber Amicorum Bung Karno”
yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta
Read More......

Sabtu, 18 Oktober 2008

Wangsit Siliwangi

Wangsit Siliwangi :
Suatu saat nanti, apabila tengah malam
terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya.

Sosok Satrio Piningit memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satrio Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil ?

Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satrio Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Ugo Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu :

1. Suara minta tolong.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga“.

Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan kemunculannya.

Sementara dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya.

2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala.” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, ato dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi.

Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa-bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti.

Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran.

3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Ugo Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena.

Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena. Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya.

Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian“. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Ntah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita.

Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga.

4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai.

Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Ugo Wangsit Siliwangi.

Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian.

Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo pada bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga“. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkan ada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan.

Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras. Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu (setinggi cor semen lantai 2). Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2nya.

5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya.

Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang-orang asli Sundapun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga.

Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.”

Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya. Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Siliwangi akan menjelaskan maksudnya.

6. Pergi bersama pemuda berjanggut.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Ugo Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut.

Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon.

Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon.

7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné.

Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat jauh.

Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi.

Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing.

Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran.

Ketahuilah bahwa Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Siliwangi. Kemampuan sama dengan Siliwangi aja tidak mungkin apalagi lebih tinggi dari Siliwangi, jelas tidak mungkin lagi.

8. Gagak berkoar di dahan mati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol saja.

Banyak kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah Angon.

Oleh karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut.

9. Ratu Adil sejati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil sejati.

Sepertinya SIliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah Angon.

Lihatlah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya cocok.

Untuk itulah Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.”

Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya.

Pada saat Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba.
Read More......

Rabu, 01 Oktober 2008

PENGGERAK YANG TIDAK BERGERAK

-Figur Joesoef Isak-

Muhammad Thorik
(Aktivis K2PSI)

Angkatan muda Indonesia lebih banyak mengenalnya sebagai editor karya-karya Pramoedya Ananta Toer, padahal di jaman pemerintahan Soekarno ia pernah malang-melintang di dunia jurnalistik, bahkan pernah menjabat Pemimpin Redaksi Merdeka, Ketua PWI Jakarta, hingga Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA). Dalam biografi yang ditulis oleh Hafis Azhari (yang tersebar lewat media internet), kita mengenal kata-kata seorang kawan jurnalisnya, selepas dari tahanan Salemba: "Joesoef, mestinya kau paham siapa kau ini? Begitu banyak elite penguasa di sekitar Soeharto yang memperbincangkan kau, dan segala kampanye anti-komunis itu baru dimulai dengan syarat bahwa kau harus keluar dari suratkabar Merdeka!"


Awal karirnya di dunia jurnalistik bersamaan dengan maraknya gegap-gempita dari pidato-pidato Bung Karno lewat corong-corong radio. Saat itu, meski usia Joesoef baru belasan tahun, semangat juang untuk membela kemerdekaan RI terasa makin kuat dalam dirinya. Pada periode tertentu ia pernah meninggalkan garis politiknya Bung Karno serta menganggapnya sebagai tukang agitasi dan "tukang koar-koar", namun kemudian ia mengalami pencerahan untuk lebih mengenal Bung Karno, bahwa sosok bapak-bangsa itu tak bisa dipahami searah atau dinilai secara sepotong-sepotong. "Bung Karno adalah figur pemimpin yang harus dicermati secara utuh, dalam keseluruhan dirinya, seperti layaknya kita menyaksikan sebuah film menarik, dan bukan seperti melihat gambar foto yang mandek dan mati," begitulah tandas Joesoef.
Di usianya yang ke-18 Joesoef sudah terjun ke dunia kewartawanan. Ia bekerja di suratkabar pertama Indonesia, yang bernama Berita Indonesia. Inilah suratkabar pertama yang lahir sebelum kemerdekaan RI, sedangkan Merdeka baru lahir pada Oktober 1945. Ditegaskannya bahwa Berita Indonesia sudah bergerilya sejak masa-masa pendudukan Jepang, untuk mengcounter Gunsaikanbu, sebagai suratkabar yang memihak pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak masa pendudukan Jepang Berita Indonesia sudah berkali-kali mengalami pembredelan, namun kemudian ia bangkit lagi hingga mengalami pembredelan yang ke sekian kalinya di masa agresi militer Belanda pertama dan kedua. Pekerjaan yang digeluti Joesoef lebih difokuskan pada koleksi-koleksi dari koran Belanda, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu ia pun menulis reportase-reportase politik untuk suratkabar-suratkabar dadakan yang banyak didirikan oleh para milisi Belanda yang mengadakan wajib militer. "Dan rupanya tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan membela kemerdekaan republik kita," tegas Joesoef.
Sebagai jurnalis muda yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Bung Karno, Joesoef banyak menulis reportase yang bermuatan pendidikan politik, sebagai penyadaran bagi segenap rakyat agar menyadari keberadaan dirinya sebagai bangsa terjajah di muka bumi ini.
"Karena itu, pembredelan oleh pihak Jepang, dan kemudian Belanda, adalah tindakan konstitusional dalam pandangan mereka sendiri. Itu sah-sah saja, seperti juga Orde Baru yang gemar menafsir pasal-pasal hukum seenaknya sendiri. Tetapi bagi kita jelas, bahwa hal itu adalah tindakan yang tidak adil dan sewenang-wenang, dan harus diadakan perlawanan…."
Joesoef menyatakan bahwa pada jamannya, ia tidak hanya berkutat di wilayah profesionalisme jurnalistik. Meskipun ia menghargai kepeloporan Rosihan Anwar maupun Mochtar Lubis, namun ia menorehkan garis pemisah bahwa profesionalisme dan perjuangan berpolitik adalah dua persoalan yang berbeda.
Sewaktu terjadi "konflik" dengan B.M. Diah, Joesoef mengakui bahwa persoalan itu tak terlepas dari pihak-pihak tertentu untuk membesar-besarkannya secara tidak proporsional. "Banyak orang mengira bahwa polemik antara saya dengan Diah, lantas dijadikan alat untuk menyebarkan isu tentang pecahnya dunia jurnalistik di Indonesia. Padahal semua itu tak terlepas dari persoalan politik yang mengemuka pada jaman itu, yang bermuara pada grand scenario perang dingin yang dikobarkan Amerika dan negeri-negeri imperialis lainnya."
Joesoef lebih menandaskan lagi bahwa: apabila kita mengkaji konflik-konflik yang terjadi di jaman itu, lantas kita melepaskan diri dari persoalan perang dingin, maka - sadar atau tidak sadar - kita telah terjebak menjadi intelektual-intelektual yang corrupt bahkan absurd.
Pernyataan-pernyataan kontroversial dari Joesoef membuat kita lebih terbelalak untuk kembali menatap masa lampau dengan kaca-mata tersendiri. Belakangan ia gemar memakai istilah "reifikasi" yang dijabarkannya sebagai suatu produk yang diutak-atik oleh elit penguasa Orde Baru, yang kemudian dipaksakan agar menjadi kepercayaan rakyat, bahkan harus diterima sebagai kenyataan konkret yang berada di luar kesadaran mereka.
Penciptaan kabar-kabar burung di media massa, antara bulan Oktober dan November 1965, khususnya mengenai wanita-wanita Gerwani yang mengadakan pesta penyelenggaraan tarian cabul sambil mengelilingi mayat-mayat para jenderal yang terbunuh, adalah salah satu dari karya-cipta reifikasi yang dipropagandakan sepanjang sejarah kekuasaan Orde Baru. Kemudian bermuncullah berbagai jenis reifikasi lainnya, yang puncaknya adalah penciptaan ketakutan massa, dengan mengesahkan genosida ideologis dari Sabang sampai Merauke.
Adapun tentang dunia pers yang berjalan semasa Orde Baru, menurut Joesoef, tak terlepas dari peranan militerisme Amerika yang bersifat multidimensional, bahkan turut campur-tangan dalam memanipulasi opini serta penciptaan dokumen-dokumen palsu, yang di kemudian hari gemar dikunyah oleh pakar-pakar yang berkompeten di Indonesia. "Hal ini adalah dampak paling serius yang harus dipahami oleh jurnalis-jurnalis muda kita. Bahkan berani saya katakan, bahwa hampir semua pers kita di masa Orde Baru telah terkontaminasi oleh koran-koran kuning."
Dalam soal ini Joesoef mengakui kelihaian Soeharto dan kroni-kroninya, terutama dalam merebut opini publik. Karena permbredelan terhadap pers-pers berhaluan kiri justru lebih dulu dilakukan sebelum mereka mengesahkan pemberlakuan untuk menangkap orang-orang berhaluan kiri. Setelah membungkam kalangan jurnalis pasca September 1965, serta-merta dikeluarkan ultimatum untuk melarang suratkabar Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, hingga Ekonomi Nasional. Setelah itu maka lahirlah opini publik yang serba "baru", yang berkutat dalam satu arah dan satu dimensi, hingga ketika seseorang disebarluaskan sebagai anggota PKI (atau terlibat G30S) maka tak ada peluang kesempatan untuk memberi sanggahan dan perlawanan.
Begitulah yang terjadi pada diri Joesoef, ketika ia bersama kawan-kawan jurnalis lainnya dituduh sebagai orang PKI, maka tak ada ruang baginya untuk menyatakan sanggahan. Padahal ia tumbuh dari keluarga besar PSI (Partai Sosialis Indonesia). "Saya senang sekali digolongkan sebagai orang kiri, meskipun saya belum pernah berada di kubu PKI. Dan sewaktu saya melek politik, tahu-tahu saya sudah tumbuh dalam lingkungan keluarga besar PSI."
Sewaktu memimpin Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) Joesoef menyadari bahwa situasi-kondisi yang terjadi saat itu, mengharuskan organisasi PWAA terjun ke dunia politik. PWAA memang bukan sekadar organisasi profesional belaka, yang tugasnya hanya membina para wartawan atau meningkatkan mutu jurnalistik.
"Saat itu sepenuhnya kami sadar bahwa kami harus aktif membantu Pemerintah untuk merebut kebebasan, serta menegakkan kemerdekaan bagi negara-negara Asia-Afrika, yang pada kenyataannya, hingga memasuki tahun 1960 masih banyak negara-negara Afrika yang belum bebas dari penjajahan. Karena itu tugas berat yang harus dipikul PWAA telah membawa konsekuensi serius bahwa perjuangan PWAA identik dengan label kiri yang melawan imperialisme dan kolonialisme."
Dari tokoh-tokoh PSI, Joesoef mengakui keintelektualan Sjahrir, dan karenanya ia mengagumi Soebadio Sastrosatomo selaku murid Sjahrir. Soebadio dikenalnya sebagai tokoh yang teguh dan konsisten dalam mengidealisasi kesatuan Republik Indonesia. Ia banyak mengilhaminya dalam proses pencarian jati-diri sebagai individu, yang merupakan bagian integral dari kesatuan nasion Indonesia. Pada saat Soeharto masih sekuasa-kuasanya, Soebadio berpesan kepada Joesoef dan kawan-kawan agar menghentikan segala bentuk pelecehan kepada para perintis-pendiri republik kita.
"Hentikan pelecehan kepada Soekarno, hentikan pelecehan kepada Hatta dan Sjahrir. Sekarang kita harus bangkitkan strategi persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir untuk melawan fasisme Soeharto," begitulah tegas Soebadio.
Ketika Soebadio menyatakan kekagumannya pada Bung Karno, tidak setitik pun tersirat pada dirinya untuk mengecilkan Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Hal itulah yang dirasakan oleh Joesoef, dan energi itulah yang diperjuangkannya hingga ia bertekad membangkitkan angkatan muda lewat buku-buku revolusioner yang diterbitkan oleh Hasta Mitra sejak tahun 1980-an.
Dalam tahun-tahun terakhir ini Joesoef Isak selaku Pemimpin Hasta Mitra berhasil meraih beberapa penghargaan internasional, antara lain Jeri Laber Award, Wertheim Award, sebagai penerbit independen terbaik.
Read More......