Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 01 Oktober 2008

PENGGERAK YANG TIDAK BERGERAK

-Figur Joesoef Isak-

Muhammad Thorik
(Aktivis K2PSI)

Angkatan muda Indonesia lebih banyak mengenalnya sebagai editor karya-karya Pramoedya Ananta Toer, padahal di jaman pemerintahan Soekarno ia pernah malang-melintang di dunia jurnalistik, bahkan pernah menjabat Pemimpin Redaksi Merdeka, Ketua PWI Jakarta, hingga Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA). Dalam biografi yang ditulis oleh Hafis Azhari (yang tersebar lewat media internet), kita mengenal kata-kata seorang kawan jurnalisnya, selepas dari tahanan Salemba: "Joesoef, mestinya kau paham siapa kau ini? Begitu banyak elite penguasa di sekitar Soeharto yang memperbincangkan kau, dan segala kampanye anti-komunis itu baru dimulai dengan syarat bahwa kau harus keluar dari suratkabar Merdeka!"


Awal karirnya di dunia jurnalistik bersamaan dengan maraknya gegap-gempita dari pidato-pidato Bung Karno lewat corong-corong radio. Saat itu, meski usia Joesoef baru belasan tahun, semangat juang untuk membela kemerdekaan RI terasa makin kuat dalam dirinya. Pada periode tertentu ia pernah meninggalkan garis politiknya Bung Karno serta menganggapnya sebagai tukang agitasi dan "tukang koar-koar", namun kemudian ia mengalami pencerahan untuk lebih mengenal Bung Karno, bahwa sosok bapak-bangsa itu tak bisa dipahami searah atau dinilai secara sepotong-sepotong. "Bung Karno adalah figur pemimpin yang harus dicermati secara utuh, dalam keseluruhan dirinya, seperti layaknya kita menyaksikan sebuah film menarik, dan bukan seperti melihat gambar foto yang mandek dan mati," begitulah tandas Joesoef.
Di usianya yang ke-18 Joesoef sudah terjun ke dunia kewartawanan. Ia bekerja di suratkabar pertama Indonesia, yang bernama Berita Indonesia. Inilah suratkabar pertama yang lahir sebelum kemerdekaan RI, sedangkan Merdeka baru lahir pada Oktober 1945. Ditegaskannya bahwa Berita Indonesia sudah bergerilya sejak masa-masa pendudukan Jepang, untuk mengcounter Gunsaikanbu, sebagai suratkabar yang memihak pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak masa pendudukan Jepang Berita Indonesia sudah berkali-kali mengalami pembredelan, namun kemudian ia bangkit lagi hingga mengalami pembredelan yang ke sekian kalinya di masa agresi militer Belanda pertama dan kedua. Pekerjaan yang digeluti Joesoef lebih difokuskan pada koleksi-koleksi dari koran Belanda, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu ia pun menulis reportase-reportase politik untuk suratkabar-suratkabar dadakan yang banyak didirikan oleh para milisi Belanda yang mengadakan wajib militer. "Dan rupanya tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan membela kemerdekaan republik kita," tegas Joesoef.
Sebagai jurnalis muda yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Bung Karno, Joesoef banyak menulis reportase yang bermuatan pendidikan politik, sebagai penyadaran bagi segenap rakyat agar menyadari keberadaan dirinya sebagai bangsa terjajah di muka bumi ini.
"Karena itu, pembredelan oleh pihak Jepang, dan kemudian Belanda, adalah tindakan konstitusional dalam pandangan mereka sendiri. Itu sah-sah saja, seperti juga Orde Baru yang gemar menafsir pasal-pasal hukum seenaknya sendiri. Tetapi bagi kita jelas, bahwa hal itu adalah tindakan yang tidak adil dan sewenang-wenang, dan harus diadakan perlawanan…."
Joesoef menyatakan bahwa pada jamannya, ia tidak hanya berkutat di wilayah profesionalisme jurnalistik. Meskipun ia menghargai kepeloporan Rosihan Anwar maupun Mochtar Lubis, namun ia menorehkan garis pemisah bahwa profesionalisme dan perjuangan berpolitik adalah dua persoalan yang berbeda.
Sewaktu terjadi "konflik" dengan B.M. Diah, Joesoef mengakui bahwa persoalan itu tak terlepas dari pihak-pihak tertentu untuk membesar-besarkannya secara tidak proporsional. "Banyak orang mengira bahwa polemik antara saya dengan Diah, lantas dijadikan alat untuk menyebarkan isu tentang pecahnya dunia jurnalistik di Indonesia. Padahal semua itu tak terlepas dari persoalan politik yang mengemuka pada jaman itu, yang bermuara pada grand scenario perang dingin yang dikobarkan Amerika dan negeri-negeri imperialis lainnya."
Joesoef lebih menandaskan lagi bahwa: apabila kita mengkaji konflik-konflik yang terjadi di jaman itu, lantas kita melepaskan diri dari persoalan perang dingin, maka - sadar atau tidak sadar - kita telah terjebak menjadi intelektual-intelektual yang corrupt bahkan absurd.
Pernyataan-pernyataan kontroversial dari Joesoef membuat kita lebih terbelalak untuk kembali menatap masa lampau dengan kaca-mata tersendiri. Belakangan ia gemar memakai istilah "reifikasi" yang dijabarkannya sebagai suatu produk yang diutak-atik oleh elit penguasa Orde Baru, yang kemudian dipaksakan agar menjadi kepercayaan rakyat, bahkan harus diterima sebagai kenyataan konkret yang berada di luar kesadaran mereka.
Penciptaan kabar-kabar burung di media massa, antara bulan Oktober dan November 1965, khususnya mengenai wanita-wanita Gerwani yang mengadakan pesta penyelenggaraan tarian cabul sambil mengelilingi mayat-mayat para jenderal yang terbunuh, adalah salah satu dari karya-cipta reifikasi yang dipropagandakan sepanjang sejarah kekuasaan Orde Baru. Kemudian bermuncullah berbagai jenis reifikasi lainnya, yang puncaknya adalah penciptaan ketakutan massa, dengan mengesahkan genosida ideologis dari Sabang sampai Merauke.
Adapun tentang dunia pers yang berjalan semasa Orde Baru, menurut Joesoef, tak terlepas dari peranan militerisme Amerika yang bersifat multidimensional, bahkan turut campur-tangan dalam memanipulasi opini serta penciptaan dokumen-dokumen palsu, yang di kemudian hari gemar dikunyah oleh pakar-pakar yang berkompeten di Indonesia. "Hal ini adalah dampak paling serius yang harus dipahami oleh jurnalis-jurnalis muda kita. Bahkan berani saya katakan, bahwa hampir semua pers kita di masa Orde Baru telah terkontaminasi oleh koran-koran kuning."
Dalam soal ini Joesoef mengakui kelihaian Soeharto dan kroni-kroninya, terutama dalam merebut opini publik. Karena permbredelan terhadap pers-pers berhaluan kiri justru lebih dulu dilakukan sebelum mereka mengesahkan pemberlakuan untuk menangkap orang-orang berhaluan kiri. Setelah membungkam kalangan jurnalis pasca September 1965, serta-merta dikeluarkan ultimatum untuk melarang suratkabar Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, hingga Ekonomi Nasional. Setelah itu maka lahirlah opini publik yang serba "baru", yang berkutat dalam satu arah dan satu dimensi, hingga ketika seseorang disebarluaskan sebagai anggota PKI (atau terlibat G30S) maka tak ada peluang kesempatan untuk memberi sanggahan dan perlawanan.
Begitulah yang terjadi pada diri Joesoef, ketika ia bersama kawan-kawan jurnalis lainnya dituduh sebagai orang PKI, maka tak ada ruang baginya untuk menyatakan sanggahan. Padahal ia tumbuh dari keluarga besar PSI (Partai Sosialis Indonesia). "Saya senang sekali digolongkan sebagai orang kiri, meskipun saya belum pernah berada di kubu PKI. Dan sewaktu saya melek politik, tahu-tahu saya sudah tumbuh dalam lingkungan keluarga besar PSI."
Sewaktu memimpin Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) Joesoef menyadari bahwa situasi-kondisi yang terjadi saat itu, mengharuskan organisasi PWAA terjun ke dunia politik. PWAA memang bukan sekadar organisasi profesional belaka, yang tugasnya hanya membina para wartawan atau meningkatkan mutu jurnalistik.
"Saat itu sepenuhnya kami sadar bahwa kami harus aktif membantu Pemerintah untuk merebut kebebasan, serta menegakkan kemerdekaan bagi negara-negara Asia-Afrika, yang pada kenyataannya, hingga memasuki tahun 1960 masih banyak negara-negara Afrika yang belum bebas dari penjajahan. Karena itu tugas berat yang harus dipikul PWAA telah membawa konsekuensi serius bahwa perjuangan PWAA identik dengan label kiri yang melawan imperialisme dan kolonialisme."
Dari tokoh-tokoh PSI, Joesoef mengakui keintelektualan Sjahrir, dan karenanya ia mengagumi Soebadio Sastrosatomo selaku murid Sjahrir. Soebadio dikenalnya sebagai tokoh yang teguh dan konsisten dalam mengidealisasi kesatuan Republik Indonesia. Ia banyak mengilhaminya dalam proses pencarian jati-diri sebagai individu, yang merupakan bagian integral dari kesatuan nasion Indonesia. Pada saat Soeharto masih sekuasa-kuasanya, Soebadio berpesan kepada Joesoef dan kawan-kawan agar menghentikan segala bentuk pelecehan kepada para perintis-pendiri republik kita.
"Hentikan pelecehan kepada Soekarno, hentikan pelecehan kepada Hatta dan Sjahrir. Sekarang kita harus bangkitkan strategi persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir untuk melawan fasisme Soeharto," begitulah tegas Soebadio.
Ketika Soebadio menyatakan kekagumannya pada Bung Karno, tidak setitik pun tersirat pada dirinya untuk mengecilkan Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Hal itulah yang dirasakan oleh Joesoef, dan energi itulah yang diperjuangkannya hingga ia bertekad membangkitkan angkatan muda lewat buku-buku revolusioner yang diterbitkan oleh Hasta Mitra sejak tahun 1980-an.
Dalam tahun-tahun terakhir ini Joesoef Isak selaku Pemimpin Hasta Mitra berhasil meraih beberapa penghargaan internasional, antara lain Jeri Laber Award, Wertheim Award, sebagai penerbit independen terbaik.

0 komentar: