Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 01 Oktober 2008

Mengungkap Alam Bawah Sadar Manusia Indonesia

Oleh: Muhamad Thorik

Ada jutaan karya dan kreasi umat manusia yang bergelut memaknai hidup ini, baik dalam bentuk puisi, musik, film hingga ke rumus-rumus matematika. Dan agama pun menyatakan bahwa kreasi manusia adalah cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pencipta, bahkan mewujudkan diri dalam bentuk huruf dan kata-kata yang terus bergerak memaknai hidup ini, dalam berbagai penafsiran-penafsiran Al-Kitab (kitab suci) yang semakin dialektis dan dinamis di setiap perkembangan ruang dan waktu.

Sedangkan tugas manusia dalam hidup ini (seperti yang disinyalir para filosof dan agamawan) adalah memberi pelajaran dan teladan kebaikan, kebenaran dan keindahan, hingga sesuatu yang bodoh dibikin cerdas, yang salah dibenarkan, yang sakit disembuhkan, bahkan yang belum tahu mesti dikasih tahu. Di situlah fungsi pendidikan yang hakiki bagi suatu bangsa yang bangkit dari penjajahan selama berabad-abad, bahwa seorang pemimpin hendaknya berbakti tanpa pamrih untuk mendidik kedewasaan dan kesejahteraan rakyatnya, dan bukan malah memperalat dan memperdayakannya.
Novel “Petunjuk dari Lubang Buaya” yang ditulis secara bertahap oleh Hafis Azhari ini, telah membuktikan betapa tahun 1965 adalah patokan dan ujung-tombak perubahan manusia Indonesia, ketika Soeharto dan mesin-mesin politiknya “berjuang” membangun bangsa dan negara, menyusupkan induksi ke dalam memori kolektif anak-anak bangsa, hingga terstruktur dalam karakter alam bawah sadar yang tak terkendali hingga hari ini dan entah sampai kapan. Dengan demikian maka pola berpikir dan berbahasa semakin lama semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kesantunan dan rasa keadilan.

Lantas apa bedanya dengan Firaun, Goliath maupun Hitler, yang sama-sama sibuk membangun fasilitas infrastruktur bagi negerinya, namun mengabaikan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban bangsanya. Apakah layak kita memuji kemajuan seperti itu, yang hingga kini masih saja dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang ngotot memperjuangkan kemapanan status quo, untuk terus mengejar-ngejar kebahagiaan semu semacam itu.

Pada novel ini pun kita menemukan penggalian filosofis tentang makna kebahagiaan hidup, bahkan kualitas manusia Indonesia dalam menikmati mutu kebahagiaan itu sendiri. Kemudian setelah alam sadar kita bangkit dari kematian (alam bawah sadar), maka kita pun bangkit untuk mempertanyakan kualitas kebahagiaan hidup kita, yang tak jauh bedanya dengan para penderita gejala kejiwaan dari kategori neurosis, paranoid, hingga ke tahap schizophrenia sekalipun.

Sambil menelusuri novel ini secara beruntun, pembaca akan dibawa set-back ke belakang dalam mengarungi dan menjelajah sejarah hidupnya sendiri sebagai manusia Indonesia, bahkan menggugat keberadaan dirinya yang selama ini diselimuti oleh dunia alam bawah sadar, hingga ke titik mempertanyakan dan membaca dirinya sendiri: siapakah aku ini? Sehatkah aku ini? Sadarkah aku ini? Dan mengapa hidupku menjadi seperti ini?

Bahkan novel ini pun menembus batas-batas persoalan yang menimbulkan krisis intelektual dan spiritual yang melanda bangsa ini, serta memberi solusi yang menjadi pertanyaan kita sehari-hari: mengapa bangsa yang berpotensi untuk cerdas dan beradab ini, dilanda oleh kebodohan dan keterbelakangan? Mengapa negeri yang berpotensi menjadi makmur dan sejahtera ini, dilanda oleh kemiskinan dan kemelaratan? Dan siapa yang paling bertanggungjawab dalam menciptakan iklim kebodohan dan kesengsaraan di negeri ini…?

Banten, 2007

1 komentar:

ncoz mengatakan...

bagus