Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 01 Oktober 2008

Ketika karya sastra bertempur melawan persepsi penguasa

Oleh Muhamad Thorik

Dalam suatu wawancara Metro-TV yang dipandu oleh Najwa Shihab, seorang pengacara terkemuka Todung Mulya Lubis menegaskan bahwa perkelahian untuk melawan persepsi yang dibangun Orde Baru selama 32 tahun, boleh jadi memakan waktu selama satu atau dua generasi lagi. Secara tidak langsung Bung Todung menandaskan bahwa perjuangan untuk membangun persepsi baru tidaklah jatuh gratis dari langit, namun harus disertai kesabaran, keuletan, keteguhan sikap dan mental, komitmen yang kuat dalam menegakkan kebenaran serta melawan ketidakadilan itu.
Memang tidak ada tolak-ukur yang menjadi kesepakatan umum bahwa perubahan dan perputaran sejarah membutuhkan waktu antar generasi, namun demikian ajaran agama menyatakan bahwa tidaklah ada percepatan perubahan selagi belum ada cita-cita dan kemauan-keras dari para pelakunya untuk menciptakan perubahan itu, bahwa suatu pembaharuan akan sulit (lamban) terwujud, sebelum tumbuhnya kesungguhan kreatif dari anak-anak bangsa untuk mewujudkan pembaharuan itu.

Dasar pemikiran inilah yang membauat saya merasa perlu meluncurkan novel PDLB (Petunjuk dari Lubang Buaya) karya Hafis Azhari melalui forum internet ini. Ketika saya bertandang di kediamannya, ia pun sepakat dengan usulan saya agar menyampaikan naskah itu kepada publik Indonesia dan dunia.

Novel PDLB layaknya sebuah otobiografi orang Indonesia yang terlahir pasca tahun 1965, suatu psiko-histori atau pergolakan jiwa-jiwa manusia yang menggugat identitas dan keberadaan dirinya: apalah jadinya ketika seorang anak tumbuh dalam pendidikan orang tua (guru) yang tidak mampu membedakan nilai kebaikan dan keburukan, bahkan kebenaran dan kesalahan? Apalah jadinya ketika ratusan juta anak bangsa dibimbing oleh penguasa yang tidak sanggup membedakan keadilan dan kesewenangan, namun tetap berambisi untuk menduduki tampuk kekuasaan hingga puluhan tahun?

Penulis novel ini membiarkan cerita PDLB mengalir seperti apa adanya, dalam sekuel waktu yang melompat-lompat namun dikemas dalam gaya bahasa yang mudah untuk dicerna. Ia tidak menampilkan dirinya dalam suatu pemihakan, juga tidak menempatkan si tokoh dalam suatu aliran dan golongan tertentu. Ia pun tidak mempersoalkan term-term politik yang berseliweran di seputar Indonesia, namun hanya mengungkap sisi-sisi kegelapan yang esensial dalam sejarah manusia Indonesia, hingga para pembaca sendirilah yang akan menentukan garis hidup yang pantas diteladani, serta mengantarkan jalan menuju petunjuk kebaikan ataukah jurang kesesatan dan kesalah-kaprahan.

Lantas sanggupkah suatu bangsa (rumah-tangga) mengalami pembaharuan, tanpa disertai doktrin-doktrin, desakan, perintah dan pemaksaan? Dapatkah kepercayaan (trust) itu terbentuk tanpa adanya tuntutan untuk minta dihargai dan dihormati? Dapatkah loyalitas itu terwujud berdasarkan ketaatan yang tulus, tanpa adanya nafsu amarah dan bentakan? Dan selanjutnya: dapatkah bangsa ini melahirkan sosok pemimpin yang benar-benar dipilih dan didukung rakyat, tanpa harus berkampanye dan pamer menonjolkan dirinya sendiri…?

Di sinilah figur Bung Karno mencuat beberapa kali dalam novel ini, karena penulis sangat konsisten memahami corak kepemimpinan beliau dalam konteks ketegasan dan kerendahan-hati, dan bukan dalam kekerasan dan keangkuhan yang ditafsir oleh para penentangnya. Loyalitas yang dibangun Bung Karno bukanlah seberkas doktrin kosong yang membodohi dan mengkerdilkan rakyat, namun suatu induksi positif yang mencerdaskan dan mendewasakan, serta membangkitkan kesadaran rakyat akan hak-hak martabat dan harga-dirinya. Seperti itu pun guratan pena Hafis Azhari dalam membedah Biografi Joesoef Isak, seorang wartawan pendukung Bung Karno yang sekaligus sahabat dekat sastrawan Pramoedya Ananta Toer (yang dalam waktu dekat akan diluncurkan untuk kita semua).

Apa yang diungkap dalam novel PDLB mengarah pada puncak cita-cita dan keinginan manusia yang paling luhur, yakni suatu “kesederhanaan”. Bahwa orang terkaya di dunia ini adalah orang yang paling sederhana dan sedikit keinginannya, namun paling tinggi cita-citanya. Bukankah dalam kesederhanaan seseorang akan mudah menemukan bukti-bukti keadilan dan petunjuk Tuhan dalam perjalanan hidupnya? Ya, bukankah dengan kesederhanaan maka akan ditemukan harta karun serta gudang-gudang kebenaran yang akan membangkitkan dan memperkaya imajinasi bangsa ini?

Selain itu, nampaknya penulis ingin menengahi kebenaran tentang hakekat peristiwa 1965 yang selama ini banyak diperdebatkan di wilayah thesis dan anti-thesis, bahkan tidak jarang berkutat di seputar hypothesis semata. Meski bukan kebenaran ilmiah yang dipaparkan, sekurang-kurangnya pembaca dapat memahami pergelutan psikologis manusia Indonesia, yang kelak menggelindingkan kebenaran sejarah tentang apa dan bagaimana langkah-langkah terbaik yang harus kita tempuh bersama demi perbaikan dan keselamatan bangsa ini.

Semoga Bung Hafis sudah mempersiapkan kekuatan moril untuk menghadapi berbagai gugatan bahwa PDLB tergolong karya sastra beraliran kiri (memihak sosialisme), begitupun sebaliknya, tidak menutup kemungkinan PDLB akan dituduh sebagai sastra berhaluan kanan (seakan-akan memihak penguasa). Hal ini adalah keniscayaan yang harus tegar dihadapi setiap penulis dan pemikir Indonesia yang konsisten memilih jalan-tengah sebagai pijakan karya-karyanya. Karena itu penghormatan kepada sosok Bung Karno dan pendukungnya adalah pilihan prinsip bagi Bung Hafis yang sering tampil di forum-forum diskusi, dan dengan lantang menegaskan: “Bangsa ini harus punya keberanian untuk menghormati orang yang berhak mendapat kehormatan!”

Dan pada prinsipnya, menghormati para pendahulu (the founding fathers) adalah manifestasi dari rasa syukur, karena suatu bangsa bisa terbelenggu dalam kekerdilan dan kepicikan selama mereka masih terpengaruh oleh bisikan-bisikan penguasa yang gemar menutupi dan menggelapkan sejarah para pendahulunya. Inilah pesan terpenting dari novel PDLB, seperti yang diungkap oleh seorang tokoh wanita Ida Farida: bahwa kebangkitan Indonesia akan cepat terwujud apabila bangsa ini punya kemauan-keras untuk merubah dirinya, serta punya keberanian untuk menghukum orang yang paling bertanggungjawab dalam menciptakan iklim ketakutan dan kebencian di negeri ini.

Dengan demikian tidak perlu membutuhkan waktu selama satu atau dua generasi lagi (seperti yang diramal Bung Todung) namun cukuplah satu atau dua tahun ke depan, bila kita sanggup bersinergi dalam membangun persepsi baru, serta berjuang keras demi mewujudkan perubahan dan pembaharuan itu. Selamat berjuang!

0 komentar: