Banten Tourism :: Pariwisata Banten ::

Rabu, 26 November 2008

Memberdayakan potensi manusia Indonesia secara manusiawi

Ada pernyataan menarik yang diungkap sejarawan muda Indonesia, Asvi
Warman Adam di seputar 17 Agustus 2007 kemarin, khususnya mengenai
"Surat Wasiat Bung Karno", bahwa bila terjadi hal-hal yang menghalangi
dirinya dalam memimpin perjuangan (tahun 1945), maka kepemimpinan
Indonesia diserahkan kepada Saudara Tan Malaka. Pada beberapa acara
televisi Asvi menyatakan bahwa nama Tan Malaka kemudian menghilang dan
dihapus oleh Orde Baru, justru agar generasi muda tidak bisa mengenal
kebesaran beliau. Kepercayaan Bung Karno itu, oleh Tan Malaka dianggap
sebagai sikap yang menghargai dirinya, namun tidak terbetik dalam
pikirannya untuk mengambil-alih kekuasaan, karena ia merasa bersyukur
atas kejayaan Indonesia di bawah panji-panji kepemimpinan
Soekarno-Hatta.

Konon beberapa sejarawan Barat telah menuding Tan Malaka yang dinilai "senang pamer" mengenai Surat Wasiat terebut,seakan-akan dapat berfungsi sebagai "rekomendasi" (seperti supersemar)yang kelak dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan. Padahal Surat Wasiat itu adalah keniscayaan sejarah revolusi kita (saat itu), mengingat
sulitnya posisi Indonesia dalam mengikuti berbagai pengambilan
keputusan secara konstitusional, sampai kemudian Hatta pun tak
keberatan dengan pewaris tunggal yang ditunjuk Bung Karno tersebut.
Namun akhirnya, Surat Wasiat itu hanya menjadi bahan perbincangan dalam
sejarah kita, mengingat perjalanan republik tak pernah dihadapkan pada
situasi yang memungkinkan wasiat itu dapat terlaksana. Dan Tan Malaka
pun (saya pikir) cukup berjiwa besar untuk menerima kenyataan itu apa
adanya. Adapun perbincangan itu terus bergulir, hingga kalangan
intelektual muda banyak bertanya-tanya: "Kenapa yang diberi wasiat
tidak tampil, tapi malah seorang jenderal tiba-tiba muncul dengan
Supersemar yang masih disembunyikan dokumen aslinya?" Pertanyaan
sederhana kemudian muncul lagi: "Kenapa nama Tan Malaka dihapus dalam
sejarah Indonesia, padahal andilnya cukup besar dalam perjuangan
kemerdekaan kita?" Barangkali jawabannya simpel saja: karena Tan Malaka
seorang muslim yang cerdas, dan (meskipun berhaluan kiri) ia cukup
memahami budaya dan karakter manusia Indonesia secara integral. Dan
seperti kesaksian yang disampaikan Sajoeti Melik pada tahun 1972-an
(Liber Amicorum Bung Karno, hlm. 228), bahwa: "Saya mengenal Tan Malaka
sebagai orang yang tidak percaya pada tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam pergaulan sehari-hari, ia berusaha menjaga kemurnian jiwanya.
Bicaranya terus-terang, dan jika tidak memungkinkan, lebih baik ia
memilih diam. Ia tak suka berbohong apalagi memfitnah. Ia berani
menjalani hidup dalam kesendirian, siap berkorban, dan tidak
mengutamakan ambisi-ambisi pribadi..."
Read More......

Solusinya terletak pada kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya

Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan rakyatnya berkembang secara
liberal, bebas dan tak terkendali. Ia punya tanggungjawab moral untuk
mengarahkan rakyatnya kepada jalan hidup yang lebih baik dan benar.
Selama ia tak sanggup untuk introspeksi-diri, tak jujur dan bersikap
mendua, maka akhirnya ia pun harus berjiwa besar mengikhlaskan dirinya
untuk tidak dihargai dan dihormati rakyatnya.

Dengan demikian ia tak punya "energi" untuk memerintah atau menjalankan sistem presidentil,hingga ujung-ujungnya hanya membiarkan saja sistem demokrasi liberal
berjalan, sampai pada titik menyerah atau turun dari jabatannya. Di
sini kita tidak membahas soal NKRI, Federal atau Ortonomi, tetapi
sistem pemerintahan yang berjalan dari zaman ke zaman, yang terumuskan
dalam istilah "khilafah", "demokrasi terpimpin" atau "apa saja", bahwa
selama pemimpin itu tak punya kemauan-keras untuk merubah dirinya untuk
bisa merubah rakyatnya, niscaya ia akan sampai pada titik kediktatoran
atau ketidaksabaran menghadapi keadaan rakyatnya yang berragam etnik
budaya dan peradaban, sampai ia pun keliru dalam menentukan
"korban-korbannya". Dengan demikian, selama ia tetap bersikeras
mempertahankan kekuasaannya, keangkuhannya, maka ia pun akan menghadapi
pengulangan dan pengulangan yang sama, hingga ia termasuk dalam
kategori "munafik" yang disinyalir dalam Al-Quran.
Read More......

Rabu, 19 November 2008

Demokrasi terpimpin adalah Keniscayaan

Disunting Oleh: Muhamad Thorik

Puncak dari segala puncak perpolitikan Indonesia terjadi pada saat menggelindingnya isu demokrasi terpimpin. Dekrit 5 Juli 1959 adalah titik awal di mana Indonesia memberanikan diri melakukan petualangan politik serta ikhtiar bagi pencarian jatidiri suatu bangsa yang baru merdeka dan berdaulat.

Kepungan negara-negara imperialis serta mengerasnya raja-raja kapital dalam membangun kekuatan status quo, membuat bung Karno tak bergeming untuk bereksprementasi menciptakan Indonesia baru bahkan mengumandangkan tata dunia baru ke seluruh penjuru dunia. Hal ini sudah dipertimbangkan sejak mula-mula bahwa demokrasi-barat yang sedang berjalan, setelah 50 persen tambah satu anggota parlemen mengambil keputusan, jutaan rakyat tertindas tidak begitu saja puas dan senang menerima nasib yang sudah diputuskan secara demokratis di dewan perwakilan tersebut.

Hal ini bukan lantas Bung Karno identik dengan anti Barat. Sama sekali tidak. Ia cukup tegas mengakui sumbangan pencerahan para pemikir Barat bagi kemerdekaan nasional serta hak individu dan hak-hak asasi manusia.

Bung Karno adalah pemimpin yang sangat jeli dalam mempertimbangkan segala perbandingan, terutama setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di seluruh dunia bahwa rakyat tertindak yang ingin memperbaiki nasibnya pada akhirnya selalu berada di pihak yang kalah. Sedangkan kaum pemodal (kapitalisme) selalu saja memang dan berhasil dalam memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan baginya.

Kenyataan tersebut membuat Bung Karno sampai pada kesimpulan bahwa dengan menggalang persatuan dan kesatuan nasional maka rakyat-rakyat tertindak dapat memenangkan “pertarungan” hingga dapat memperoleh kesempatan untuk memperbaiki nasibnya.

Dari sini bisa kita lihat bahwa kesatuan dan persatuan yang dicita-citakan bung Karno bukanlah suatu megalomania untuk mencapai kejayaan ‘Indonesia Raya’ tetapi memang prasyarat dan bagian dari konsep demokrasinya bung Karno demi penegakan demokrasi itu sendiri, terutama untuk memberdayakan segenap rakyat dalam membangun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya.

Bila kita bicara tentang demokrasinya Bung Karno maka kita sudah masuk pada persoalan “demokrasi terpimpin”yang dianggap tabu dan angker, khususnya oleh mereka-mereka yang tidak mengerti – dan tidak mau mengerti – apa dan bagaimana demokrasi terpimpin itu bisa muncul dan berkumandang di bumi Indonesia.

Para penulis barat pada umumnya hanyalah melakukan analisis bagi pembenaran hypothesa belaka, yang dipandang dari sudut kebaratannya. Padahal demokrasi terpimpin jelas berbeda, karena merupakan ikhtiar terobosan serta pergelutan menemukan synthesa dari iklim demokrasi barat yang sudah berabad-abad lamanya.
Read More......

Selasa, 18 November 2008

Mencermati Founding Fathers RI

Disunting oleh: Muhamad Thorik

Bagi Bung Karno jelas bahwa musuh-musuh utama yang dihadapi bangsa Indonesia bukanlah kawan-kawan sebangsa atau setanah air sendiri. Musuh utama tersebut adalah perjuangan keras serta ambisi-ambisi keserakahan dari unsur status quo neokolonialisme dan imperialisme yang tidak pernah mau mengalah apalagi menyerah.

Unsur nekolim itu dengan gencar memainkan segala siasat dan tipu muslihat untuk memecah-belah para pejuang kita, terutama juga persaudaraan di kalangan intelektual RI. Bagi mereka persatuan-kesatuan banga berkembang akan mengancam peranan mereka dalam melancarkan operasi-operasinya di bidang ekonomi, demi kemakmuran mereka serta klik kepentingan ekonomi bagi suatu nasion tertentu.

Sadar tak sadar, para intelektual kita sungguh telah tersusupi oleh usaha-usaha dari kepanjangan tangan politik divide et impera tersebut. Selama puluhan tahun mereka direcoki oleh perdebatan-perdebatan sengit tak berguna serta memakan waktu dan energi yang serba mubasir dan sia-sia.

Gejala negatif yang mencemaskan pada kaum intelektual kita, adalah bahwa mereka menelan mentah-mentah dan memamah-biak pendapat para pakar asing yang dijadikan rujukan, dan akhirnya mengkerangkeng daya kemandirian berpikir mereka sendiri.

Di antara Soekarno-Hatta-Syahrir dan Soebadio, Amir Syarifudin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka, Moh. Roem dan lain-lain. Adalah para founding father yang mempunyai bakat, kemampuan dan fitrahnya masing-masing. Mereka memang berbeda, tetapi persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi itulah yang menjadi potensi dan asset nasional kita yang sangat berharga, suatu modal besar untuk membangun dan menempuh masa depan Indonesia yang lebih baik.
Read More......

Senin, 17 November 2008

Pemikiran Joesoef Isak (II)

Diawali dari Keteladanan Soekarno

Oleh: Hafis Azhari


Pada dasarnya setiap manusia hidup adalah terpimpin, yang kemudian terus berkembang untuk bersiap-siap menjadi pemimpin. Sejak lahir manusia diasuh, dibina, diberi pelajaran dan pengetahuan tentang hidup, tentang bagaimana menjalai proses kehidupan yang baik. Setiap masukan yang diberikan dalam pikiran dan benaknya, selayaknya adalah pelajaran tentang bagaimana ia menghadaipi dirinya, sesamanya, lingkungan dan dunianya, yang kemudian ia bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran kepada sesamanya pula.

Manusia yang terlahir lebih dulu, selayaknya bertanggungjawab untuk mendidik yang terlahir kemudian, yang tua bagi yang muda, dan singkatnya yang berpengetahuan kepada yang belum (tak) berpengetahuan.

Semua pendidikan itu berporos pada upaya-upaya untuk mencari jatidirinya sebagai manusia. Suatu upaya hidup yang berkemanusiaan dan bermoral. Supaya manusia dapat hidup secara lebih manusiawi. Karena itulah maka seorang pemimpin bertanggungjawab mengjarkan moralitas kepada orang-orang yang dipimpinya, yaitu kepada rakyatnya.

Dalam kaitan ini Joesoef Isak menegaskan:

Bung Karno adalah pemimpin dan guru saya sekaligus. Pidato-pidatonya sangat memukau sejak usia saya belasan tahun. Berkat dialah masa muda saya begitu bergairah dan bersemangat untuk berjuang melawan penjajahan. Dan sebagai anak remaja pada mulanya saya hanya ikut-ikutan berjuang, yang kemudian bung Karno pun tak bosan-bosan mengajari orang-orang seusia kami mengenai makna perjuangan.

Semangat perjuangan itu terus tertanam dalam dirinya. Di usia belasan tahun ia telah beberapa kali bergabung dalam dunia pergerakan, hingga ketika pendudukan Jepang (1942 -1945) ia berusaha melawan dengan hanya bersenjatakan ketapel dan bambu runcing.

Rumah kami persis di sebelah tahanan sekutu (kini Gedung Kebangkitan Nasional). Karena itu keluarga saya selalu mengalami pengejaran oleh serdadu-serdadu NICA, Jepang, hingga terus menerus mengungsi dari satu tempat ke tempat lain.

Pidato-pidato Bung Karno yang disiarkan melalui gelombang-gelombang radio di seluruh penjuru negeri, semakin mengobarkan semangat dan bara api perjuanganya. Sebagai anak muda Joesoef bersikeras mengisi masa-masa mudanya dengan sesuatu yang bermakna bagi perjuangan. Baginya perjuangan tidaklah sebatas berperang atau bertempur mengangkat senjata. Setiap saat dalam fitrah kehidupan manusia haruslah diisi dengan perjuangan, karena hidup itu sendiri adalah perjuangan. Ia berusaha memanifestasikan makna perjuangan itu dalam bentuk karya nyata, perbuatan, yang bukan bersenjatakan meriam ataupun bedil tetapi dengan pena.
Read More......

Sabtu, 15 November 2008

Pemikiran Joesoef Isak

Mengkonfrontasikan Pemikiran tentang Bung Karno

Oleh : Hafis Azhari

Tokoh Bung Karno adalah puncak segala-galanya bagi Indonesia, dari persoalan keindonesiaan sampai gambaran budaya dan peradaban manusia Indonesia. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa figure Soekarno – meski bukan satu-satunya – adalah tokoh sentral untuk memahami dan mendalami sejarah Indonesia. Bahkan tidaklah keliru bila dikatakan bahwa sejarah hidup Bung Karno adalah patokan untuk mengukur tingkat budaya dan peradaban Indonesia, di mana moralitas dan pertanggungjawaban manusia pertaruhkan.

Dalam perjalanan karirnya sebagai wartawan Joeoef Isak mengaku banyak mengalami tahapan di mana ia merasa pernah jatuh-bangun dalam menilai dan memahami Bung Karno.
"Hal ini cukup wajar, karena hidup seorang individu adalah suatu proses berkelanjutan yang tak pernah berhenti. Sebagai anak muda boleh dibilang saya pernah mengalami periode "meraba-raba", terutama dalam upaya membanding-banding hingga memahami apa dan siapa itu Bung Karno".

Sewaktu bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) Joesoef pernah meninggalkan Bung Karno, terutama ketika mengalami masa-masa "peruncingan" dalam perpolitikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan Bung Karno dinilainya sebagai banyak melakukan tindakan-tindakan politik yang berani dan gegabah, hingga – dalam usia muda sepantarannya – membutuhkan jeda waktu untuk meraba-raba dan menilai secara utuh dan menyeluruh.
Barulah setelah pembertonkan PRRI/ Permesta serta kepiawaian Bung Karno dalam mengatasi pemberontakan tersebut Joesoef kembali memihak Bung Karno secara bulat bersama dengan segala kebijakan-kebijakan politiknya.
Sebagai orang PSI Joesoef mengaku telah banyak belajar dari Soebadio Sastrosatomo (di samping Bung Karno), terutama tentang keteguhan dan kegigihannya dalam mengidealisasi kesatuan Indonesia. Soebadio cukup banyak mengilhaminya dalam proses pencarian jatidiri sebagai individu, yang merupakan bagian integral dari kesatuan suatu nasion.
Sebagai seorang pengagum Syahrir, Soebadio pernah menandaskan bahwa dirinya adalah bagian dari perjuangan bapak bangsa Soekarno. "Soekarno adalah presidenku. Soekarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno." Waktu Jenderal Soeharto masih dalam kuasa-kuasanya, kepada Joesoef dan kawan-kawan ia memperingatkan supaya menghentikan setiap pelecehan yang dialamatkan kepada Soekarno, juga kepada Hatta-Syahrir, untuk kemudian membangkitkan strategi persetuan Soekarno-Hatta-Syahrir dalam melawan fasisme Soeharto.
Ketika Soebadio menyatakan kekagumannya pada Bung Karno, tidak setitik pun pada dirinya untuk bermaksud mengecilkan apalagi meninggalkan Hatta-Syahrir.
Maka apapun yang kita bicarakan mengenai kebesaran para perintis pendiri Republik Indonesia, Bung Karno-lah tokoh sentral dari segala-galanya. Bahkan menurut Joesoef Isak:
Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa kehidupan Bung Karno sekaligus merupakan patokan untuk mengukur moralitas kita sebagai bangsa.
Hal itulah yang dirasakan dan dialami Joesoef hingga segala polemic yang pernah dialaminya bahkan yang "menjebaknya" sebagai tahanan politik Order Baru, tak lain merupakan suatu pendapat dan konfrontasi mengenai figur Bung Karno itu sendiri.
Setiap polemik di awal tahun 1960-an, yang membuatnya tergeser secara berturut-turut dari Pemred Merdeka, kemudian berkelanjutan adanya kasak-kusuk untuk menggulingkan dirinya dari Sekjen PWAA serta keanggotaannya di PWI, adalah bagian dari sikap dan pendiriannya dalam mengkonfrontasikan bahkan mengidolakan bapak bangsa kita.
Waktu itu cukup sengit tarik-menarik antara siapa memihak siapa. Siapa pendukung siapa. Dan sebagai pribadi yang konsekuen memihak Bung Karno setelah peristiwa PRRI/Permesta, pada mulanya saya tidak sempat mengamati adanya klik dan konspirasi yang dialamatkan kepada diri saya.
Berkaitan dengan ini Joeseof Isak memaparkan adanya berita yang disampaikan Hiswara Dharmaputera, terutama tentang suatu pertemuan di Makassar yang memfokuskan dirinya sebagai "sasaran tembak", mengingat dirinya bukanlah sembarang orang dalam dunia pers dan jurnalistik Indonesia, bahkan bagi Asia-Afrika.
Karena menilai diri saya sebagai orang penting, rupanya mereka harus merancang berbagai strategi untuk "secara halus" menggulingkan kedudukan saya. Sementara saya tetap bekerja untuk membantu pemerintah, terutama ikut serta menyokong dalam proses revolusi yang diamanatkan Bung Karno. Saya tidak punya konspirasi apa-apa untuk tujuan-tujuan yang tidak baik dan tidak benar.
Dan segala pertimbangan yang difokuskan untuk mempersalahkan Joesoef, rupanya berkelanjutan hingga tahun-tahun setelah peristiwa G30S. Rezim Soeharto dan Angkatan Darat tidaklah mempersoalkan apakah sasaran penangkapannya adalah seorang anggota PKI, PNI, Masyumi, NU ataukah PSI.
Hingga sampailah pada keputusan bahwa mulai tahun 1968 Joesoef Isak dinyatakan "sah konstitusional" sebagai tahanan politik Orde Baru, dikarenakan satu hal: ia adalah pendukung dan pembela Bung Karno.
Read More......